Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya
SERUJI.CO.ID – Hidup adalah permainan, dan SunTzu mengatakan bahwa bisnis adalah permainan peperangan. Sementara kehidupan digerakkan oleh bisnis maka bagi produsen senjata, perang adalah bisnis yang paling menguntungkan. Presiden Eisenhower telah mengingatkan konspirasi military industrial complex yang menyulut berbagai perang illegal tanpa alasan yang sah.
Dulu Belanda menjelajahi laut dunia hingga Nusantara untuk mencari dan memperdagangkan rempah-rempah yang memiliki nilai tinggi melebihi emas. Penjelajahan itu kemudian terbukti kemudian berubah menjadi penjajahan. Melalui penjajahan atas Hindia Belanda selama 300 tahun lebih ini, Kerajaan Belanda menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Sejak akhir Perang Dunia II, penjajahan ternyata tetap berlangsung namun dengan wajah baru yang lebih tricky, subtle and sophisticated. Oleh Bung Karno, penjajahan Barat atas negara-negara yang baru “dimerdekakan” -seperti Indonesia- tersebut disebut neo-kolonialisme-imperialisme atau nekolim. Penjajahan baru itu tidak dilakukan secara terbuka dengan tentara dan tank, tapi dilakukan secara proxy, melalui berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional antara mantan budak dan tuannya. Nekolim dilakukan secara remotely controlled. Instrumen penjajahan baru itu adalah hutang dan riba yang diatur oleh konstitusi IMF.
Penjajahan baru melalui hutang dan riba itu mensyaratkan budaya hidup bangsa terjajah yang sesuai. Penjajah menyediakan hutang sementara yang terjajah menyediakan budaya hidup berhutang. Budaya hutang itu dibentuk oleh persekolahan yang dibungkus dengan packing pendidikan. Pendidikan sesungguhnya adalah persoalan perluasan kesempatan belajar, bukan kesempatan bersekolah. Oleh pemerintah, wajib belajar praktis diartikan sebagai wajib sekolah. Lalu dikembangkan tahayul dan mitos bahwa tidak bersekolah berarti tidak terdidik dan kampungan.
Padahal belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan yang makin menyedot banyak sumberdaya. Oleh persekolahan, pendidikan diubah menjadi komoditi langka dengan segmentasi masyarakat yang makin keras. Bersekolah di sekolah dan kampus “top” adalah simbol status sosial atau kecongkakan tertentu. School is the best place to show off.
Secara diam-diam, oleh persekolahan kebutuhan belajar diubah menjadi keinginan bersekolah. Lalu malalui sistemisasi keinginan ini masyarakat merancukan antara kebutuhan dengan keinginan, belajar dengan bersekolah, kompetensi dengan ijazah, mobilitas dengan mobil, kemudian isi dengan bungkusnya. Kerancuan sistemik ini membentuk mentalitas bungkus.
Adalah mentalitas bungkus ini yang menjadi papan lontar kehidupan konsumtiv-hedonistik berbasis hutang. Kita tahu bahwa kebutuhan kita sedikit tapi keinginan kita tak berbatas. Demikianlah hutang berkembang menjadi riba. Hanya dengan riba keinginan tak-terbatas itu bisa dipuaskan walau hanya semu.
Riba diharamkan oleh semua agama langit tidak saja karena merusak mental pelakunya tapi juga merusak alam semesta. Manusia yang sudah terjerat hutang akan kehilangan martabat, harga diri dan kemerdekaannya. Dalam jiwa yang terjajah kita tidak mungkin menanam karakter jujur, amanah, dan peduli. Padahal ketiga karakter itu adalah syarat bagi kehidupan yang cerdas.
Untuk memanen bonus demografi negeri ini, kita perlu segera merekonstruksi Sisdiknas agar dibebaskan dari monopoli radikal persekolahan. Kita perlu menguatkan keluarga sebagai satuan edukatif yang sah. Keluarga juga perlu kita kuatkan sebagai satuan produktif. Kekurangan keluarga dapat dilengkapi oleh satuan-satuan belajar berbasis komunitas seperti masjid, sanggar tari, klub silat, kepanduan, dan unit-unit bisnis di masyarakat. Sekolah bisa menjadi pusat sumber belajar yang menyediakan perpustakaan, akses internet dan bengkel latihan kerja. Pendidikan adab dan akhlaq diajarkan melalui keteladanan oleh keluarga dan masyarakat dalam praktek kehidupan keseharian. It surely takes a village to raise a child.
Jember, 26/8/2018