212 dan Keadilan Sosial
Tesis Professor Lambach lebih murni dibandingkan tesis lainnya, sebab banyak tesis ahli-ahli barat dibuat dalam perspektif dunia barat untuk tetap mengontrol negara-negara di dunia. Dalam teori postkolonial, barat tidak ingin melepaskan ketergantungan negara-negara berkembang dan miskin untuk tetap tumbuh mandiri.
Melihat tesis Lambach ini tentu kita dapat melihat bahwa Bangsa Indonesia memang sudah terbelah (Divided Society) antara kekuatan-kekuatan nasionalis-agamis vs kekuatan “kebhinnekaan”, yang sampai saat ini berperang merebut kekuasaan.
Pada kekuatan Nasionalis-Islamis yang digawangi oleh Prabowo, Rizieq, Amien Rais, Anies Baswedan, Fahri Hamzah dlsb, bernaung kelompok masyarakat nasionalis dan Islam, khususnya yang dapat disebut “masyarakat 212”.
Di posisi berhadapan, yang dikomandoi Jokowi, Ahok, Megawati, Hendroprijono, Luhut Panjaitan, Romo Beni, Nusron Wahid, dlsb, menaungi masyarakat yang mengharapkan terwujudnya masyarakat plural.
Kelompok Nasionalis-Islamis selain mengutamakan konsep Indonesia harus menjadi milik pribumi, juga menekankan pemerataan sosial sebagai arus utama. Anies Baswedan misalnya di Jakarta, mulai membatasi akselerasi kerakusan konglomerat dalam menguasai tanah, seperti contoh tanah reklamasi. Serta mendorong tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang kecil, dlsb mendapat prioritas pembangunan.
Dalam tesis Professor Lambach dan apa yang menjadi kepedulian pemimpin dan “masyarakat 212”, kecemasan Prabowo memang menjadi sentral isu dan menempatkan agenda agenda pribumi dan keadilan sosial sebagai tolak ukur bubar tidaknya Indonesia ke depan. Sebuah kecemasan yang mendasar tentunya.
(The View Cafe, Dago Bandung, 25 Maret 2018)