petani jambu

SERUJI.CO.ID – Kisah petani adalah cerita soal kekalahan. Kita adalah para penyaksi hal tersebut dan telah menjadi keyakinan yang sulit dicabut. Saat panen. harga jatuh ke sumur yang paling dalam. Ketika masa paceklik, harga membumbung tapi barang sudah di tangan pengepul atau pedagang.

Musim hujan kerap diterjang banjir, pada momen kemarau sawah puso karena tak ada sumber air, dan masih ditambah dengan aneka hama yang datang nyaris tiada jeda.

Itu belum diperdalam dengan nestapa lain yang kerap mampir, seperti harga benih yang mahal, pupuk langka, tanah diserobot, lilitan utang ke rentenir, jebakan teknologi, dan segepok realitas pahit lainnya. Pendeknya, dunia petani adalah kesempurnaan nestapa.

Kisah pedih itu juga menyergap Pak Kasnari, petani jambu getas merah di Kabupaten Kendal. Hanya sekitar 1,5 jam perjalanan dari Kota Semarang kita akan sampai di hamparan tanaman jambu di Kendal tersebut, termasuk lahan kecil milik Pak Kasnari.

Di ladang yang luas itu (total mencapai 2000 hektar) jambu yang eksotik dan manis dibiarkan jatuh dan membusuk tanpa ada upaya memanen karena harganya yang menusuk (akal). Pada musim panen seperti sekarang, sekilonya hanya dihargai Rp500, bahkan bisa anjlok menjadi Rp 200-300. Kata Pak Kasnari, ongkos memanen jauh lebih mahal ketimbang harga jual yang diperoleh. Nada suaranya lirih, seperti mewakili hatinya yang sedang perih.

Lelaki berumur sekitar 55 tahun itu berkisah. Tahun lalu pernah menjadi tempo paling indah dalam hidupnya selama 20 tahun menjadi petani jambu. Harga puncak jambu mencapai Rp9.000/kg. Dia mendapatkan kesejahteraan yang hampir menyundul atap rumah. Masa yang indah untuk dikenang, namun kali ini menjadi cerita gersang. Tak cukup tenaga untuk tersenyum sebab beban hidup jauh dari ranum. Untunglah jalan keluar bisa dicicil.

Ditjen PKP (Pembangunan Kawasan Perdesaan) Kemendesa berikhtiar mengkonsolidasikan ribuan petani jambu di Kendal itu untuk membangun organisasi ekonomi desa yang mapan, yakni Bumdesma (Badan Usaha Milik Desa Bersama). Kali ini, sekitar 1400 petani dari 7 desa dulu yang sepakat bikin konsensus. Para pegiat desa dan staf di kantor turun ke lapangan untuk mendorong pengorganisasian sumber daya dan memapankan Bumdesma.

Petani mesti terkonsolidasi agar tak terpecah jadi kekuatan kecil yang rapuh. Mereka wajib melantunkan ikrar bersama agar skala ekonomi digapai dan ikhtiar peningkatan nilai tambah (pengolahan) menjadi kenyataan.

Pemapanan organisasi ekonomi menjadi perkara karena selama ini titik lemah ekonomi desa bermukim di sana. Mas Edi, petani jambu yang kemudian terpilih sebagai Ketua Bumdesma “Plasma Petik Sari”, semangat membangun lembaga ini dan bertekad merawat dengan modal hati dan dedikasi.

Para pengepul tidak disingkirkan, namun dibuka ruang hidup asal tak menghisap petani. Mereka diberi kewajiban beli Rp2000/kg dari petani, lantas menjual Rp2.400/kg kepada Bumdesma, dan akhirnya Bumdesma melepas Rp3.000/kg ke perusahaan. Perusahaan masih akan berbakti dengan memberi sebagian saham ke Bumdesma setelah kerjasama ini makin bertaji. Tentu, dalam jangka panjang peran Bumdesma didoakan makin berkibar dan menjadi hilir dari api harapan petani yang kian berkobar. Kolaborasi yang bermartabat bagi seluruh pihak telah dan sedang dipanjat.

Pada Rabu lalu (7/3/2018) hari bersejarah itu tiba, ketika ratapan diubah menjadi harapan. Bumdesma dan perusahaan tanda tangan kerjasama tepat di lapangan sebelah kebun jambu. Panggung sederhana didirikan, senafas dengan nasib pejuang kehidupan (petani) yang sedang ditegakkan. Para petani bertepuk tangan, berharap fajar baru berpihak kepada hajat hidup sejahtera yang selama ini hanya angan.

Mas Edi, yang sepantaran dengan saya, terlihat tak lagi murung dengan kemeja bersahaja lengan panjang yang digulung. Pak Kasnari saya cari tak ketemu, mungkin menghilang kembali ke ladang untuk mengabarkan cahaya baru kepada pohon jambu. Kisah petani adalah cerita soal kekalahan. Hari ini kami bermunajat agar nasib buruk itu telah sampai pada tepi. Esok pagi berharap berganti menjadi takdir baru yang menandai mulainya musim semi.

Jakarta, 9/3/2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama