Sebagai contoh: Klaim Sepihak oleh Trump terhadap Yerusalem telah menyadarkan banyak orang akan penjajahan di tanah Palestina. Kita muslim normalnya marah. Lalu bagaimana kita merepresentasikan marah kita? Minimal dengan memboikot produk-produk yang menyumbang Israel untuk menjajah Palestina.
Muncullah broadcast ajakan boikot. Kata-katanya bagus dan persuasif. Sayangnya dalam broadcast tersebut memuat info yang salah yang mengatakan Trump ingin membakar al Quran.
Share Syndrome mendorong seseorang menjadi semangat luar meng-share broadcast tersebut. Tidak peduli pada info bohong yang terkandung di dalamnya. Bahkan berfikir kalau hal itu tidak masalah. Atau berfikir parsial: kita ambil positifnya saja yaitu ajakan boikot. Waduh, kalau seperti ini apakah itu akhlak seorang muslim yang menyebarkan kebohongan?
Kebaikan akan menjadi berarti jika dieksekusi dengan cara yang baik dan benar. Niatnya bagus mengajak boikot, tapi kalau caranya dengan menyebar kebohongan, di mana harga diri kita sebagai seorang muslim?
Contoh lagi, misalkan ada kesalahan/aib yang dilakukan saudara atau teman kita. Misalkan waktu itu ada salah satu sayap organisasi Islam yang meminta bantuan beras ke gereja. Lalu malah kita posting di sosial media kita. Dengan nge-share tersebut kita merasa memberi pelajaran bagi yang lain. Sempurna. Akan tetapi, apakah itu tidak malah mempermalukan muslim sendiri?
Itu adalah contoh kondisi yang lahir akibat semangat share yang tak terbatas. Sebagai seorang muslim, patut direnungi dan dipikirkan sebelum melakukan share informasi yang kita terima ke orang lain. Pastikan tidak mengandung unsur kebohongan. Pikirkan juga akibatnya, memperbaiki keadaan atau malah memperburuk? Sebab, setiap apa yang kita perbuat kelak akan kita pertanggungjawabkan di akhirat.
Cheers ^_^
Dyah Sujiati