Hadirnya media sosial di tengah kerasnya kehidupan telah melahirkan “penyakit” baru yang bolehlah saya sebut dengan istilah “Share Syndrome”. Sederhananya, Share Syndrome adalah semacam semangat yang luar biasa untuk selalu membagikan (share) berita atau informasi apa saja yang diperoleh. Berbagi memang melahirkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini selanjutnya menghadirkan sebuah utopia, seakan pelaku share telah berbuat sesuatu yang luar biasa. Nyaris sempurna bahkan.
Derasnya informasi yang masuk ke telepon genggam kita, bisa dipastikan tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyak yang harus di-check and recheck dahulu kebenarannya. Sudah sering kita dengar maupun kita baca tentang “saring sebelum sharing”. Kelihatannya mudah sih, tapi ternyata sulit diterapkan apalagi ketika berbenturan dengan syndrome itu tadi.
Suatu waktu saya pernah menemukan tulisan yang memotivasi agar tidak takut diberi gelar raja share. Semangat untuk menyebarkan “kebaikan” walau sedikit. Seakan-akan ketika kita telah melakukan share, kita telah menjadi manusia yang paling berguna dan berjasa di jagad raya. Padahal yang disebar belum tentu benar faktanya. #ikon tepok jidat
Semangat tak terbatas untuk berbagi yang dalam perbincangan kita kali ini saya sebut utopia share syndrome. Utopia Share Syndrome telah melahirkan setidaknya dua kondisi yang patut diwaspadai.
Pertama, perasaan puas setelah share yang kemudian menganggap: tugas telah gugur hanya dengan share. Ini halus dan tipis. Tidak begitu nampak bahayanya. Akan tetapi, tetap perlu diwaspadai.
Kedua, Utopia Share Syndrome telah melahirkan apatisme terhadap kebenaran atau kebohongan yang menjadi muatan dalam informasi yang kita sebar. (Lanjut ke halaman berukutnya)