Anda pemimpin? Hebat. Berarti dipercaya. Tapi, kepercayaan akan mudah hilang, kemudian hilang pula status sebagai pemimpin. Apalagi jika menjadi pemimpin kehabisan janji karena senang obral rayuan gombal.
Hilangnya kepercayaan itu lumrah, tak ada manusia sempurna. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada pula yang sebelum kehilangan kepercayaan, sudah meninggalkan dunia. Yang terakhir ini, akan dikenang sebagai pemimpin hebat karena belum sempat kehilangan kepercayaan.
Sudah ada pemimpin hebat yang dipercaya sampai mati karena kesempurnaan kepemimpinan, seperti Nabi dan Khulafaurrasyidin. Bahkan, umat percaya kepada wasiat-wasiatnya, dan teguh untuk mematuhi walau sudah ditinggal mati. Sebuah contoh kepemimpinan yang sempurna.
Ada pula, beberapa pemimpin bersegera mundur sebelum benar-benar kehilangan kepercayaan, seperti yang terjadi di beberapa negara (bukan Indonesia). Mundur walau kecil kesalahannya, namun sadar bahwa pemimpin butuh kepercayaan. Tak bisa menjaganya, sama saja seperti merusak pondasi bangunan, sehingga lebih baik serahkan ke orang lain.
Mengapa di Indonesia kurang muncul budaya seperti itu? Apakah karena salah mengerti tentang beda “pemimpin” dengan “penguasa”? Pantas tak merasa harus mundur, kalau menjabat di negeri ini dianggap memegang kuasa. Berkuasa tak perlu dipercaya, yang penting bisa memaksa rakyat patuh.
Bagaimana agar terpilih menjadi pemimpin? Di negeri ini, pemimpin dipilih melalui pemungutan suara. Walau akhirnya menjadi penguasa, awal dipilih karena dianggap akan menjadi pemimpin.
Metode pemilihan pemimpin seperti ini banyak kelemahannya, karena tidak bisa benar-benar memilih orang yang tepat. Barang bagus belum tentu laris kalau tidak ada yang kenal, atau bungkusnya buruk. Bahkan sebaliknya, ada barang yang biasa saja tapi laku keras karena diiklankan dan dicitrakan bagus.
Kalau sekarang mendapatkan pemimpin “seadanya”, maka terimalah. Barangkali karena iklannya super bagus dengan memberi harapan serta janji-janji. Tapi, pemimpin “seadanya” ini jika sudah bekerja namun tidak mampu memenuhi janji-janjinya, akan kesulitan beriklan kembali kecuali dengan janji-janji baru yang lebih heboh dan wah. Lucu dan aneh kalau sekedar mengulang janji manis yang dulu terucap.
Janji yang lama saja belum dipenuhi, bagaimana dengan janji yang baru? Inilah awal dari kerusakan, karena sudah tidak peduli kepada kebaikan kepemimpinan. Andai kepemimpinan bisa tegak, semua komponen bergerak maksimal karena berjiwa dan termotivasi atas rasa percaya.
Sebenarnya, memilih pemimpin itu karena kualifikasinya, bukan janjinya. Nabi menurunkan kepemimpinan kepada Abu Bakar r.a. karena ia “Ash-Shiddiq”, sahabat seperjuangan. Abu Bakar memilih Umar bin Khaththab r.a. karena ia “Al Faruq” dan segala keutamaannya, dan seterusnya.
Bila kepemimpinan diperoleh karena janji dan janji, akan sangat mudah kehilangan kepercayaan saat tak terpenuhi. Mau buat lagi, rasanya seperti mengada-ada bahkan tersiar kekonyolan atau kebodohannya, dan akhirnya kehabisan tak ada lagi yang bisa dipamerkan.
Mundur saja, lebih baik dan terhormat. Atau paling tidak, sekali yang lalu dianggap cukup dan jangan dilanjutkan.
Kehabisan janji