Sharla, pemenang Voice Kids Musim 2 yang diumumkan Kamis malam ini, berasal dari Jombang yang terkenal sebagai kota santri. Bahkan, penampilan “kesantrian” Sharla melekat pada jilbab yang dikenakan dan cengkok qasidah yang dikuasainya.
Kehebohan tentang Sharla dimulai sejak audisi, ketika kemudian mendendangkan sejenis lagu qasidah, yang amat familier ditelinga masyarakat Indonesia. Performa menyanyi, yang dikomentari bagus oleh para juri, membuat dirinya dapat mendulang suara hingga terpilih menjadi juara lewat poling yang diselenggarakan salah satu tv swasta.
Masih teringat juga, di acara tv yang lain yang lalu, Fatin Sidqia juga memenangkan kontes dan cukup mengundang perhatian publik karena juga mengenakan jilbab.
Sepertinya tidak ada yang salah dalam pencapaian mereka. Sah-sah saja mengikuti kontes ini atau itu. Namun, ada pola yang terjadi, sepertinya perlu dicermati demi kebaikan bersama.
Ketika ada kontestan “unik” karena berpenampilan muslimah ikut sebuah acara yang basic-nya barat (katakanlah : sekuler), publik di negeri ini langsung teralih, dan mendadak populer. Bagi media yang menyiarkannya, hal ini merupakan keuntungan karena rating akan naik. Tapi, manfaat bagi umat tentu perlu dikaji secara mendalam.
Pertama, walau hal yang masih diperdebatkan, kompetisi itu berfungsi seleksi sehingga hanya yang berbakat saja bisa mendapat penghargaan. Kalau budaya yang menghargai setiap usaha itu kuat seperti di Jepang, mungkin efeknya tidak terlalu besar. Tapi, jika dilakukan di negara yang hanya bidang-bidang tertentu saja yang dihargai, ditambah dengan ketimpangan ekonomi (termasuk profesi) yang tinggi, maka akan menyebabkan runtuhnya kualitas sumber daya manusia. Sebab utamanya, masyarakat menjadi berminat ke bidang-bidang populer seperti dunia hiburan dan meninggalkan profesi lain yang bisa jadi sangat dibutuhkan bangsa.
Kedua, kontes-kontes yang laris itu di bidang dunia hiburan, dunia para selebriti. Sedangkan masyarakat sudah terlalu banyak disuguhi cara hidup selebriti, yang sangat mudah mendapat fasilitas mewah, sehingga teracuni mental hedonis (cinta dunia). Akibatnya, masyarakat menjadi rapuh dan cenderung merusak.
Ketiga, musik dan nyanyian bukan kebutuhan umat yang utama. Hanya mubah menurut sebagian ulama, bahkan haram menurut sebagian yang lain. Namun banyak yang sepakat itu hal yang sia-sia, karena sekedar urusan dunia.
Keempat, kebanggaan terhadap prestasi di dalam even berbasis budaya barat itu semu. Bisa jadi karena memandang sebagai negara maju dan selainnya terbelakang, sehingga terbawa anggapan bahwa segala dari barat itu bagus, apalagi sampai jadi juara. Namun, di lain pihak secara tak sadar, setuju untuk tidak membanggakan budaya sendiri, kalau tidak mau dikatakan merendahkan.
Efek-efek buruk itu bisa dengan mudah meluas karena ditumpangi kepentingan-kepentingan penguasa ekonomi. “Terkenal” sudah dianggap bisa menjadi jalan bagi seseorang mendapatkan segala apa yang diinginkannya. Pada saat itu pula ia dengan mudah “dibayar” untuk kepentingan mereka. Bagi mereka ini, halal-haram, baik-buruk, syurga-neraka itu tidak penting. Bisa sangat mungkin dengan memanfaatkan media-media, masyarakat dibuai untuk semakin bersikap cinta dunia (berarti menjauh dari akhirat, jauh dari agama), sehingga dapat dikendalikan dengan mudah dan murah dengan cara iming-iming kesenangan instan yang melenakan.
Hmmm. Saya jadi ingat kejadian suatu pagi. Di saat saya lagi hectic ditambah berantem dengan seseorang.
Eh ibu2 di samping saya malah cerita tentang anaknya yg menjadi penyanyi di acara2 kawinan. Dan yang dibanggakan adalah yg dinyanyikan itu qasidah. Lalu si ibu seakan2 bangga s
Lah belum selesai udah kekirim.
Yo wis jag