Pasangan suami istri yang romantis, pasangan suami istri yang saling setia adalah sesuatu yang tidak begitu sulit kita temukan di kehidupan sehari-hari. Namun pasangan suami istri yang sama-sama berjuang dengan fikiran dan fisiknya, bahkan menjadi pemimpin di perjuangannya adalah hal yang sangat langka.

Dan sesuatu yang langka tersebut  ada pada pasangan suami istri Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Mereka berdua bertemu dalam medan perjuangan, dan terpisah juga karena konsekuensi perjuangan mereka.

Mereka menikah pada tahun 1880, sejak menikah keduanya saling menguatkan satu sama lain dalam melawan penjajahan Belanda. Bahkan Cut Nyak Dien menjadikan diperbolehkannya dia tetap berjuang sabagai persyaratan dia mau dinikahi Teuku Umar. Karena Teuku Umar juga pejuang maka persyaratan itu bisa dimakluminya.

Pernikahan Cut Nyak Dien dengan Teuku Umar merupakan pernikahan yang kedua. Pernikahan pertamanya juga dengan pejuang yang bernama Ibrahim Lamnga. Namun suami pertamanya tersebut gugur dalam medan pertempuran di Gle Tarum, 29 Juni 1878. Kematian suami pertamanya justru memicunya semakin semangat meneruskan perjuangan melawan penjajah.

Dan begitulah seterusnya garis hidup yang harus dilalui wanita tangguh ini, Teuku Umar  suami keduanya juag gugur di medan pertempuran melawan penjajahan Belanda di Meulaboh pada 11 Februari 1899.

Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dien tidak kehilangan jiwa pejuangnya.  Ketika Cut Gambang putrinya  menangisi kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata: “ sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”

Cut Nyak Dien menjalani status jandanya untuk yang kedua kalinya dengan hal yang sama seperti saat menjalani status jandanya yang pertama yaitu dengan bergerilya melawan penjajah Belanda dengan apapun yang dia miliki dan dia bisa lakukan.

Kondisi fisiknya yang makin tua dengan mata yang rabun telah menyebabakan rasa iba salah seorang pasukannya yang bernama Pang Laot, sehingga dia melaporkan tempat persembunyian Cut Nyak Dien pada Belanda dengan didahului kesepakatan bahwa Cut Nyak Dien boleh ditangkap asal diperlakukan dengan terhormat. Pada 16 November 1905 Cut Nyak Dien tertangkap.

Meskipun ditahan Cut Nyak Dien tetap menjalin komunikasi dan menggerakkan kawan-kawan perjuangannya. Hal inilah yang menyebabkan Cut Nyak Dien akhirnya diasingkan oleh gubernur Van Daalaen pada 11 desember 1905 ke Sumedang, Jawa barat (1,5 bulan pasca penangkapan).

Di tempat pengasingan tersebut Cut Nyak Dien wafat tepatnya pada tanggal 6 November 1908. Makamnya baru itemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.

Wanita dalam ajaran isalm sebenarnya sangat dimanja, wanita tidak diberi tanggung jawab untuk mencari nafkah, apalagi kewajiban untuk bertempur secara fisik dengan musuh islam. Didalam islam cukup menjadi wanita yang berbakti pada suami dalam bingkai ketakwaan pada Allah SWT telah bisa mengantarkannya untuk mendapatkan tiket surga.

Namun wanita juga tidak dilarang untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar berbakti pada suami, misal dengan berjuang fisabilillah seperti yang dilakukan Cut Nyak Dien. Dan perjuangan itu juga akan mendapatkan nilai plus sebagai wanita. Dan Cut Nyak Dien telah mengantongi nilai Plus tersebut. wallahu a’lam bi showab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama