Sambi, adalah nama desa di Kecamatan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat Propinsi Kalimantan Tengan. Di desa tersebut ada monumen yang diberi nama Monumen Palagan Sambi dengan Patung Tjilik Riwut.
Tjilik Riwut adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama kali memimpin aksi terjun payung dalam operasi melawan penjajah Belanda yang masih bercokol di Bumi Borneo.
Bermodalkan Pesawat C-47 Dakota RI-002 pada 17 Noveber 1947 ia berhasil terjun bersama belasan anggotanya di Desa Sambi yang sekarang dijadikan Monumen Sejarah Perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Sambi, meski desa ini adalah desa bersejarah. Namun hingga saat ini belum nampak tanda-tanda perhatian dari perintah pusat. Listrik, air bersih dan akses jalan pun sangat sulit dilalui.
Sambi, desa yang warganya sangat ramah bagi semua pendatang. Mereka sudah terbiasa menikmati hidup dengan keterbatasan yang ada. Mereka tidak banyak mengeluh apalagi menuntut meski tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat khususnya.
Beberapa kali penulis menelusuri jejak desa bersejarah tersebut. Dengan berbekal keyakinan ternyata benar, penulis bisa merasakan bagaimana susahnya bermalam selama tiga hari disana. Hidup tanpa listrik, air bersih, jalanan sulit dan tentunya tanpa bisa komunikasi dengan keluarga maupun teman.
Menyikapi kondisi tersebut, penulis mencoba menganalisa dengan cara hitung matematika. Benarkah nilai jiwa para pejuang yang telah gugur tak seharga dengan nilai biaya pembangunan untuk desa bersejarah tersebut..?
Dalam penelusuran, banyak pihak mengatakan salah satu kendala pembangunan jalan darat menuju Kecamatan Arut Utara karena pemerintah tidak mempunyai jalan. Alasan mendasar karena dahulu akses menuju kecamatan tersebut adalah melalui jalur sungai jadi dianggap wajar ketika saat ini tidak mempunyai akses darat.
Alasan klasik tersebut seringkali kita dengar, nyatanya akses darat yang paling mudah menuju kota kabupaten atau sebaliknya banyak memakai jalan perusahaan alias nebeng.
Dari fakta yang ada, pertanyaan yang sering muncul dari masyarakat adalah dimana posisi dan kekuatan Negara saat ini. Siapa yang sebenarnya memiliki tanah tumpah darah Indonesia ini. Sehingga seolah-oleh negara tidak mampu dan tidak berdaya menghadapi para kapital perusahaan yang dimiliki orang asing. Apakah mereka para kapital yang sekarang menikmati hasil dari bumi Borneo saat itu ikut menjadi pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan di negeri ini.
Aneh, meski Indonesia sudah ganti presiden 7 kali. Namun semua itu tidak mengubah kondisi yang ada.
Beruntung, saat ini Bupati dan Wakil Bupati berusaha menggandeng perusahaan agar bisa kerjasama dalam pembangunan desa-desa pelosok yang tertinggal. Meski demikian penulis yakin, tanpa adanya campur tangan serius dari pemerintah pusat pembangunan secara menyeluruh akan sulit terwujud karena keterbatasan biaya.
Akankah Sambi menjadi desa wisata sejarah yang benar-benar bisa dikenal oleh para geneasi bangsa ini..? Kita tunggu saja hadirnya Presiden RI ke – 8.