‘Aku kangen masakan ibu…’ , ‘masakan ibu tak ada duanya, makanya jauh-jauh aku bela-belain pulang’ itulah kalimat yang sering kita dengar keluar dari lelaki paruh baya untuk menggambarkan bagaimana kangen dirinya atas masakan ibu. Meski terbentang jarak nun jauh,si anak merantau dan ibu berada dikampung halaman, rasa rindu pada masakan ibu begitu bergelora.
Waktu berputar, zaman berubah, ikut pula budaya dan perilaku manusia berubah. Sekarang banyak wanita mengejar karir diluar rumah, meskipun tidak sedikit pula wanita yang memilih bertahan untuk berkarir di rumah, sehingga terkadang kegiatan masak-memasak menjadi hal yang membosankan, menyita waktu maupun alasan lain, tidak efisienlah, tidak pintar masaklah , bla..bla..bla…alasan yang entah benar atau sekedar diutarakan untuk menutupi kemalasan.
Sebenarnya tidak ada masalah antara karir dirumah dan diluar rumah, semasa tetap menjaga rambu-rambu tuntunan syariah. Mana yang lebih mulia antara karir diluar maupun didalam rumah, wallohu a’lam. Yang jelas semakin sedikit saat ini seorang ibu yang mencurahkan sebagian waktunya untuk memasak. Padahal dalam memasak tidak hanya terdapat seni meracik bumbu sehingga menghasilkan cita rasa yang enak dan menggoda selera keluarga, tetapi lebih dari itu ada curahan kasih sayang seorang ibu terhadap keluarganya. Dengan memasak ibu dapat meyakinkan keluarganya bahwa apa yang dia makan adalah halalan thoyyiban, bukankah doa yang diijabah berawal dari makanan halal dan thoyyib?
Bahkan kalau kita merenungkan dalam masakan yang ibu siapkan terdapat pahala melimpah dan keberkahan. Bukankah dengan keridhoaan suami dan keluarga, itu merupakan jalan kemudahan seorang istri untuk menggapai surga? Sebaliknya, dengan keengganan seorang istri/ibu untuk memenuhi kebutuhan makanan keluarga dengan jerih payah memasak, boleh jadi akan menyebabkan ketidakridhoan suami dan keluarga yang berakibat menjadi pembuka pintu neraka baginya? Naudzubillah min dzalik.
Saatnya para ibu, para istri kembali merenungkan khittah kewanitaannya, bahwa dipundaknya ada keutamaan yang diperoleh. Keutamaan yang tidak nampak jika kita tidak merenungkannya dengan seksama. Urusan masak-memasak ternyata tidak sesederhana apa yang terlihat, namun lebih dari itu, mempersiapkan masakan untuk suami dan keluarga merupakan bagian dari ibadah sosial seorang istri bagi keluarganya.
Bukankah para istri berharap, ketika suami jauh darinya, mungkin karena tugas atau keperluan lain yang tak dapat ditinggalkannya, atau anak-anak sudah berpencar menimba ilmu dan mungkin bahkan sudah berkeluarga, kemudian mereka mengingat anda wahai para istri dan para ibu melalui makanan yang selama ini anda siapkan yang merasuk kedalam sumsum-sumsumnya? Alangkah bahagianya seorang ibu yang selalu lekat dihati keluarganya meski hanya ber-asbab-kan makanan yang disiapkannya. Dan bahkan alangkah hebatnya, ternyata masakan yang disiapkannya menjadi wasilah bagi terbukanya pintu langit atas doa-doa yang dipanjatkan olehnya dan seluruh keluarganya. Saatnya kembali memasak. (Sry/jateng)