JAKARTA – Berdasarkan laporan Badan Narkoba Dunia, terdapat sebanyak 644 Narkoba jenis zat psikoaktif baru (new psychoactive substance/NPS) yang telah beredar diberbagai negara, salah satunya adalah Indonesia yang menurut laporan sudah beredar sebanyak 53 narkoba jenis baru.
Dari 53 narkoba jenis baru tersebut, menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang masuk jenis narkoba baru hanya 40 jenis.
Hingga saat ini masih belum ada terobosan untuk mempercepat agar berbagai jenis narkoba baru tersebut dapat segera dimasukkan dalam daftar lampiran UU Narkotika sehingga pengedar dari obat-obatan berbahaya tersebut dapat dijerat pidana.
Keterlambatan regulasi seperti inilah yang membuat zat psikoaktif baru tersebut dapat dengan leluasa beredar bebas di Indonesia, sebagai contoh NPS yang dikenal oleh masyarakat seperti tembakau gorila atau cannabinoid derivatives, blue sapphire dan methylone yang bahkan sempat diperjualbelikan melalui media sosial.
Sementara itu Kementrian Kesehatan masih mengacu pada zat, bukan pada struktur kimia zat tersebut, sehingga peran pemerintah dirasa lamban terhadap peredaran zat psikoaktif jenis baru.
“BNN, Kemenkes, Kementrian Hukum dan HAM, Polri serta TNI menurut saya perlu berembuk untuk menggolongkan narkotika yang berbahaya di masyarakat,” tutur Ahli Farmasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusman, di Jakarta, Selasa (1/8).
NPS dengan berbagai jenisnya merupakan narkoba berbahaya yang dapat merusak neurotransmiter yang dapat menyebabkan pemakainya menjadi depresi, insomnia, paranoid, serta mengakibatkan serangan jantung.
NPS umumnya diedarkan dengan iming iming bisa menenangkan pikiran stres dan menambah tenaga sehingga para pemakainya bisa beraktivitas dengan prima. Akan tetapi kenyataannya justru mengakibatkan kolik yang membuat saluran pencernaan meintir. Ilusi energi yang tidak habis membuat para penggunanya tidak memiliki selera makan dan minum, sehingga tanpa disadari membuatan pencernaan rusak.
Selain itu, Peneliti Kimia Farmasi BNN Kristin menyebutkan bahwa keterlambatan regulasi menghadapi zat psikoaktif baru itu sangat berkaitan erat dengan strategi perintah dalam menentukan suatu zat termasuk golongan psikoaktif atau bukan.
“Jepang, negara yang sering dibanjiri narkoba jenis baru seperti cannabinoid dan cathinone seperti Indonesia, namun mereka lebih memilih menggunakan struktur kimia untuk menentukan golongan pada setiap zat baru yang masuk ke negaranya,” paparnya. (HA)