Tiga bulan ini Lawe telah mengumpulkan informasi tentang kota berpenduduk 350 ribu orang yang akan menjadi kanvas kehidupannya setahun kedepan. Melalui bantuan google, ia peroleh informasi tentang kota cantik karya arsitek Amerika Serikat Sir. Walter Burley Griffin. Pemenang lomba merancang ibukota Australia sebagai kompromi persaingan Melbourne dan Sydney ini kemudian diabadikan menjadi nama danau buatan dengan fountain yang menyemburkan air setinggi 30 meter yang tadi sempat dilewati oleh rombongan Lawe.

Canberra dilihat dari angkasa seperti sebuah berlian, dengan lingkaran-lingkaran jalinan jaring laba-laba di pola segiempat suburb Belconnen, Tuggeranong, Woden, dan Queanbeyan. Parliament House diatas potongan bukit sebagai centrum landscape Canberra adalah pusat berlian itu. Bangunan raksasa itu memiliki mahkota berbentuk piramida berongga terbuat dari empat batang stainless steel dengan julangan tiang bendera Australia raksasa di ujung atasnya yang nampak dari seantero kota. Dengan bantuan google map, nampak kota dirancang serius dengan jalan-jalannya yang rata-rata terdiri tiga jalur seperti tol di Jakarta dengan jembatan yang menghubungkan dua sisi danau buatan.

Jalanan pusat kota Canberra ramai oleh kendaraan siang itu. Mobil-mobil buatan Australia, Eropa dan Amerika seperti Volvo, VW, Holden, Ford, Peugeot berseliweran, meski mobil-mobil buatan Jepang dan Korea semacam Honda, Toyota, Hyundai terlihat masih lebih mendominasi isi jalanan. Di plat-plat mobil yang melintas tertulis dengan jelas: “Canberra, hearth of the Nation”, “The Nation Capital”, “celebration of a century 2013”, atau “SA, the festival state”, atau “Queensland, sunshine state”, “The Smart State”, bahkan “Victoria, golden state”, “The place to be”. Sebuah Limousine panjang berwarna putih tulang menyita tempat picking up penumpang di Civic Shoping Center.

Dari raungannya terdengar banyak mobil sport ber-CC besar dikendarai anak-anak muda, namun tetap terlihat taat pada aturan kecepatan. Memang, kamera-kamera pemantau kecepatan dipasang di banyak titik jalanan. Mobil-mobil itu akan berhenti hampir mendadak saat para pejalan kaki menyeberang di jalur khusus penyeberangan atau perempatan dengan tulisan “give way”. Sebuah tulisan di dinding mobil Australian Post yang melintas berbunyi “If you can’t see my mirror, I can’t see you”. Di setiap perempatan dengan lampu lalu lintas, suara mirip “tut tut tut” berketukan cepat dan dua lampu sign berwarna kuning berkedip-kedip menjadi tanda untuk memprioritaskan para pejalan kaki yang menyeberang jalan. Taxi yang membawa Lawe dan Ahmad terus melaju melintasi Civic Shoping Center ke arah kompleks ANU.

Akhirnya sebuah patung katak jantan bercat biru dan putih menyapa para mahasiswa baru itu di pintu masuk tempat parkir Toadhall. Deretan enam bangunan bertingkat empat dengan batu-bata cokelat kemerahan membentuk dinding bangunan Toadhall yang saling terhubung satu sama lain seperti seni instalasi. Meski bukan bangunan baru seperti Unilodge yang jauh lebih modern, Toadhall memiliki fasilitas yang tak kalah lengkap, dekat dengan kampus, terminal bus Jolimont maupun city center. Para mahasiswa Nusantara itupun segera turun dari taksi mereka memasuki Toadhall.

Setelah mengisi data administrasi, Lawe dan kawan-kawan menaiki tangga menuju kamar masing-masing. Setiap kamar Toadhall berlantai karpet coklat muda dan dilengkapi dengan heater untuk musim dingin. Kamar bercat kuning muda itu meskipun kecil, namun dirancang multifungsi dengan rak buku bertingkat di pojok dinding dan lemari pakaian berwarna cokelat muda yang compact menempel di dinding. Bahkan di bawah spring bed tempat tidur kayu yang sewarna lemari itu disediakan dua laci besar yang bisa digunakan untuk menyimpan sepatu, selimut atau buku-buku. Pesawat telepon dan colokan akses internet juga disediakan di meja yang menghadap jendela kamar.

Setiap lantai di Toadhall terdiri dari enam kamar dilengkapi dengan ruangan tamu dan kitchen bersama dimana masing-masing penghuni diberikan lemari kecil untuk menyimpan peralatan masak dan kulkas bersama. Toadhall dilengkapi pula dengan washing machine umum, selain lantai parkiran mobil di depan dan ruangan parkir sepeda di samping bangunan. Mahasiswa berlatar belakang hampir dari seluruh penjuru dunia menghuni bangunan legendaris itu, dimana senior residence yang terpilih akan membina para juniornya.

Setelah membersihkan badan dengan semburan shower di kamar mandi kecil berdinding plastik, dari dekat jendela “National Geographic” kamarnya Lawe merasakan hembusan angin segar beraroma daun eucalyptus yang menyapanya ramah sore itu. Menjejakkan kaki di Australia sungguh merupakan mimpi masa remaja Lawe yang terbayar lunas. Mimpi-mimpinya yang tumbuh subur dimasa SMP dan SMU saat hari-harinya diisi dengan mendengarkan Radio Australia yang menyiarkan keeksotisan negeri benua di Selatan kepulauan Nusantara. Hari itu Lawe bukan hanya menjejakkan kakinya di tanah Australia yang kering, tetapi juga telah meminum airnya, dan menghirup udaranya yang dingin.

@@@

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama