Menempuh Laku di Jalan Para Guru

Cerita ini adalah kisah hidup seorang pendekar bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ia yang punya nama kecil Mohammad Masdan ini, dikenal memiliki kemauan untuk belajar ilmu silat dan ilmu batin sangat luar biasa. Suratan takdir membawanya ke tanah Sunda, Padang bahkan Aceh, sehingga memberi kesempatan belajar ilmu-ilmu silat peninggalan leluhur di Nusantara. Ilmunya kelak diwariskan ke perkumpulan silat yang bernama Persaudaraan Setia Hati.

Takdir ternyata berpihak kepada Mohammad Masdan. Tuannya orang Belanda ternyata menyukai kejujuran dan perilaku hormatnya. Setelah satu tahun, Mohammad Masdan pun diajak ke tanah Parahiyangan Bandung. Di sana ia juga diberi pekerjaan yang sama tanpa digaji, hanya diberi uang saku. Kesempatan ini digunakan Mohammad Masdan untuk belajar ilmu silat lebih dalam.

Ke mana ia belajar silat, tidaklah sulit bagi Mohammad Masdan. Di mana-mana terdapat banyak perguruan silat dengan banyak aliran dan para pendekar-pendekarnya. Yang terkenal adalah aliran Cimande, Cikalong, Cibeduyut, Ciampea, Cilamaya, dan Sumedangan. Semua dipelajari Mohammad Masdan dengan tekun.

Karena kemauan keras dan pemberani, Mohammad Masdan tidak segan-segan mendatangi satu perguruan dengan perguruan yang lain. Tidak jarang, ia harus “sambung silat” atau berlatih tanding dengan para murid perguruan bahkan pendekar. Sakit atau terluka adalah biasa, demi memenuhi rasa penasarannya terhadap seluk beluk ilmu beladiri yang ingin dipelajarinya.

Para pendekar tidaklah segan-segan memberikan ilmu-ilmunya, disamping karena Mohammad Masdan berkeinginan kuat untuk belajar, juga sikap hormatnya kepada orang lain, apalagi bila yang dihadapannya seorang guru. Sikap hormat ini ditunjukkan dengan tetap mengingat siapa gurunya, siapa pencipta alirannya.

Aliran silat yang banyak dipelajari Mohammad Masdan adalah aliran Cimande. Menurut cerita, aliran ini diilhami gerakan monyet dan harimau yang sedang berkelahi. Gerakan monyet yang pandai menghindar melawan gerakan harimau yang pandai menerkam dan menyerang. Mohammad Masdan tidak kesulitan belajar aliran ini, karena banyak pendekar yang menguasainya. Bahkan hebatnya, banyak yang menguasai karena diajari oleh ibunya sendiri.

Hanya satu tahun, tapi ilmu yang didapat dari banyak pendekar memantapkan langkah Mohammad Masdan untuk juga jadi pendekar. Kecerdasan dan minat yang tinggi membuat semua bentuk langkah permainan-permainan silat bisa dikuasai, seperti besutan, krawelan, slewah dan keletan.

Setelah satu tahun, Mohammad Masdan diajak ke Betawi. Karena kecintaannya dengan seni beladiri silat, waktu di Betawi tidak disia-siakan dan terus belajar silat. Walau hanya setahun, Mohammad Masdan berhasil menguasai beberapa gerakan silat aliran Betawen, Kwitangan, Monyetan dan permainan tongkat atau toya.

Ketekunan Mohammad Masdan mencari ilmu silat baru tentu membuat dirinya harus bertemu dengan para pendekar yang bermacam-macam perangainya. Perkelahian adu jurus sering terjadi, demi menunjukkan keunggulan alirannya. Bagi Masdan, adu silat adalah cara mempelajari ilmu-ilmu silat lain dengan cara langsung dirasakan dan dipraktekkan. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pendekar haruslah memiliki keberanian dan pantang menyerah. Apabila adu silat dan latih tanding sudah selesai, Mohammad Masdan selalu bersikap hormat kepada lawannya, karena telah memberi pelajaran dan pengalaman belajar.

Mohammad Masdan tidak tinggal lama di Betawi. Ia diajak kembali oleh tuannya orang Belanda ke Bengkulen Sumatra. Di Bengkulen, Masdan melihat aliran silat yang mirip dengan silat di Bandung. Di Bengkulen juga tidak lama, hanya enam bulan. Setelah itu diajak tinggal ke Tanah Minang yaitu Padang.

Tuannya orang Belanda itu kemudian diangkat menjadi Asisten Residen. Asisten Residen itu punya kedudukan yang tinggi, sehingga Mohamad Masdan diangkat menjadi pegawai yang bergaji. Tuannya sangat mempercayai kejujuran dan sikap baik Mohammad Masdan, sehingga memintanya tetap tinggal di rumah sambil menjaga anaknya yang sudah agak besar.

Di Padang, semangat untuk belajar silat tidak padam bahkan semakin menggelora. Selepas bekerja di waktu yang senggang, Mohammad Masdan berkeliling ke tempat-tempat latihan silat yang di sana disebut sasaran silek. Agak sulit untuk dapat belajar silat atau silek di Padang karena lebih tertutup, dan untuk silat tingkat tinggi banyak syarat yang harus dipenuhi.

Bukan Mohammad Masdan bila menyerah. Ia terus menerus berkunjung dari satu sasaran ke sasaran lainnya hingga dua tahun lamanya. Mengumpulkan jurus dan gerakan, memilih mana yang terbaik. Tentu agar dapat meresapi dengan sungguh-sungguh, ia tidak segan-segan mengajukan diri untuk bertanding, hingga bisa mengukur dengan langsung kemampuan lawan.

Lantaran kecepatan berfikir, Mohammad Masdan mampu belajar dengan cepat, ditambah dengan ketahanan tubuh yang mendukung. Silat atau silek adalah olah tubuh yang mengandalkan ketangkasan dan kemahiran, serta cermat dalam memperhatikan gerak lawan.

Selama dua tahun tersebut, semakin lama Mohammad Masdan semakin penasaran, lantaran tidak pernah ia bertemu dan bertanding dengan tuo silek atau guru besar dari setiap sasaran silek yang ia kunjungi. Selalu saja ia hanya harus bertemu dan bertanding dengan para pembantu atau tangan kanan sang guru besar.

Rasa penasaran terhadap ilmu-ilmu silat tingkat tinggi membuat Masdan memberanikan diri untuk bertemu tuo silek bagaimanapun caranya. Maka, ketika tuannya orang Belanda cuti pulang ke Belanda, Mohammad Masdan minta tinggal di Padang.

Dengan sepenuh hati dan waktu yang sangat luang, Mohammad Masdan berusaha mencari guru silek sejati. Ia pilih sasaran silek yang memiliki pendekar-pendekar hebat lagi rendah hati. Karena ia tahu, pendekar yang hebat tidaklah suka mempertontonkan kehebatannya, apalagi guru besarnya.

Akhirnya Mohammad Masdan menemukan sebuah sasaran silek yang kata orang memiliki tuo silek yang sangat sakti bernama Datuk Rajo Batuah. Konon, Datuk Rajo Batuah adalah murid dari para legenda silat yang berjuluk Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan adalah pendekar silat dan panglima pertempuran yang berjumlah delapan, para pahlawan yang membela kebenaran dan kebaikan. (Bersambung…)

(Catatan : Cerita ini adalah fiksi, namun berdasarkan kisah dari mulut ke mulut dan sumber-sumber di internet. Beberapa nama mungkin sesuai dengan sejarah yang sesungguhnya, mungkin pula tidak)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama