Aku ingin dia tidak bereaksi negatif dengan anjuranku ini. Karena banyak pemain organ yang mereka memang tidak kenal waktu. Mereka tidak peduli dengan azan dan kegelisahan orang lain akibat dentuman bas yang mereka gunakan.
“Lalu kapan mainnya dok? Apakah kita akan tetap hentikan permainan sekalipun tamu masih banyak?” keningnya berkerut.
“Ya,” jawabku tegas.
“Pada saat azan mulai berkumandang atau bahkan sebelum azan dikumandangkan, organ tunggalmu sudah berhenti.”
“Bagaimana dengan tamu dok. Tuan rumah juga ingin tamunya dihibur dengan musik. Mereka menyewa grup organ kami untuk menghibur tamunya. Sementara ditengah keramian tamu, kita berhenti,” dia kelihatan bingung.
Kembali terlihat pandangan mata kosong. Dia melihat tidak ada jalan yang bisa ditempuh. Semuanya buntu.
“Kamu harus ingat, saat itu kamu dibutuhkan orang. Berhentinya kamu memainkan musik disaat orang tengah menikmati, akan membuat para tamu jadi penasaran. Andaikan tuan rumah protes, kamu punya alasan yang jelas. Kamu pergi shalat,” ku coba memotivasinya agar rasa percaya dirinya tumbuh.
“Kamu shalatkan?” tanyaku.
“Alhamdulillah dok. Shalatku tidak pernah tinggal walau sering terlambat,” ujarnya sambil menganguk pelan.
“Alasan itu bisa kamu gunakan dan ajak semua temanmu untuk shalat bersama,” aku mulai dapat jalan untuk memotivasinya.