“Selama makan obat saya merasa nyaman. Tidurku malam hari sudah nyenyak, nafsu makanku sudah kembali membaik dan rasa berdebar yang selama ini menggangguku sudah tidak lagi ku rasakan,” ujarnya menjelaskan perbaikan yang dia rasakan.
“Namun…….,” ucapannya tersendat.
Matanya menerawang seakan ada yang dia fikirkan. Sepertinya dia ingin mengungkapkan sesuatu, namun dia tidak mampu untuk menyampaikannya. Ada beban berat yang tengah di pikul. Ingin dia bebagi, namun ada keraguan dalam hatinya.
“Kenapa? Ada sesuatu yang memberatkan fikiranmu? Silakan kamu ungkapkan. In sya Allah aku dan mbak perawat yang ada di sini akan menjaga kerahasiaanmu. Itu tanggungjawab kami sebagai tenaga kesehatan,” aku coba menenangkannya.
“Aku punya paman dok,” ujarnya memulai curaha hatinya.
“Pamanku seorang mubaligh. Setiap dia pulang kampung dan bertemu denganku, ia selalu marah. Aku selalu dapat omelan,” bicaranya sedikit tersendat.
“Alhamdulillah, kamu punya paman seorang mubaliq kondang,” aku menimpalinya.
“Ada orang yang selalu mengingatkanmu agar jangan berbuat salah dan mengingatkanmu untuk selalu berbuat baik. Banyak orang yang tidak ada yang menghiraukannya. Mau baik, mau buruk tidak ada yang mengingatkan.”
“Tapi pekerjaan ku ini sangat tidak disukai pamanku,” jelasnya.
“Oo…kerjamu apa?” aku heran kenapa kerjanya tidak disukai mamaknya (paman di suku Minang).
Apakah dia berbuat yang tidak benar seperti menjual miras atau barang terlarang lainnya.
“Aku pemain orgen tunggal dengan tim yang tampil glamor setiap ada pementasan. Saat ini orgen tunggal itu satu-satunya sumber nafkahku. Aku tidak punya keahlian lain,” ungkapnya.
Matanya menerawang seakan ada yang dia cari. Mungkin dia tengah mencari jawaban dari setiap keluhan yang dia sampaikan. Pelan tapi pasti, ada genangan air terlihat di matanya. Sepertinya dia tidak mampu melawan kekuasaan pamannya. Walau jiwanya meronta, tapi dia tidak punya kemampuan untuk keluar dari kemelut yang melilitnya.
“Main orgen tidak salah,” aku mulai memberikan penilaian.