Karena terpisah oleh lautan, di atas kepulauan Nusantara tercipta 1.128 suku bangsa yang berbicara dalam 746 bahasa daerah dan menuliskan sejarah mereka melalui berbagai macam aksara. Terdapat suku Dayak, Jawa, Banjar, Madura, Bali, Sasak, Aceh, Sunda, Betawi, Batak, Melayu, Minang, Papua, Timor, Makassar, Toraja, Bugis, Buton, Bajo, Muna, Tolaki, Ternate, Maluku, Anak Dalam, Badui dan banyak lainnya, manusia Nusantara berjumlah 250 juta kini. Suku-suku Nusantara seperti motif yang tak pernah sama, namun setiap orang bisa mengenalinya sebagai Batik. Mereka adalah representasi dari tiga daerah budaya sekaligus; Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Mereka tinggal di dalam rumah Joglo, rumah Gadang, rumah Toraja, huma Betang, rumah Banjar, Honai atau rumah tradisi lainnya dengan mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta memiliki satu bahasa persatuan, di desa atau kota-kota termasuk; Toli-Toli, Bau-Bau, Fak-Fak, Pare-Pare dan Muko-Muko.

Nenek moyang negeri ini memiliki peradaban-peradaban besar dan berpengaruh di Asia Tenggara. Pelaut kerajaan Bugis dan Makassar dikenal sebagai pelaut ulung yang sanggup menjelajah luasnya samudera sampai ke India, China, Australia, kawasan Pasifik bahkan sampai Madagaskar meninggalkan jejak-jejak DNA. Demikian pula pencapaian kerajaan maritim yang melegenda; Sriwijaya, Majapahit, Aceh dan Tidore. Armada perang laut Aceh berhasil mengalahkan armada perang Portugis, sementara nama-nama tokoh maritim Nusantara berderet panjang; Pati Unus, Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan Hang Kesturi. Bagaimanapun kerasnya upaya penjajah Barat tak mampu menghapus sejarah kegemilangan Nusantara itu, karena catatannya terserak mulai dari Kamboja, Thailand sampai Filiphina.

Hindia Timur ramai oleh perdagangan dunia, dimana kota Barus masuk dalam catatan penjelajahan berbagai bangsa; Arab, China dan Eropa, sebagai penghasil produk yang digunakan untuk membalsem mumi Fir’aun Mesir. Pala, merica, cengkih, kopi, lada dan kayu Cendana telah menarik kedatangan bangsa-bangsa asing itu terutama orang Eropa yang mengenalnya saat perang salib sebagai komoditas yang sangat laku di pasar internasional. Agama-agama besar datang dan pergi di kepulauan ini, baik secara damai maupun melalui penjajahan, mengikuti interaksi penduduknya dengan bangsa asing.

Secara bergelombang konversi kedalam agama rosul terjadi secara damai buah dari dakwah kaum pedagang Arab, Persia, India dan China. Masa kolonialisme Eropa yang datang setelahnya tak berhasil membendungnya. Saat ini sembilan dari sepuluh penduduk Nusantara menerima islam sebagai agamanya. Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Ampel, Masjid Penyengat, Masjid Wapaue Maluku, Masjid Agung Banten, Masjid Saka Tunggal, Masjid Al Hilal Katangka, Masjid Tua Palopo, Masjid Mantingan, dan Masjid Patimburak di Fak Fak menjadi saksi pengaruh islam itu. Demikian pula Borobudur, Prambanan, Mendut, Suko, Penataran, Muara Takus, Muarojambi, Jawi, Singosari, Ratu Boko, Pawon, Kalasan dari periode yang lebih tua menjadi prasasti kehadiran ajaran Hindu dan Budha. Gereja Katedral Jakarta dan Gereja Blenduk Semarang adalah jejak lainnya tentang kehadiran kaum Nasrani di Nusantara.

Unggah-ungguh, murah senyum, keramah-tamahan dan adat ketimuran menjadi nafas penduduk negeri-negeri Nusantara pemilik kreatifitas tinggi dalam berkesenian. Di Mojokerto ditemukan topeng abad ke-10 berbahan campuran logam dan tanah liat yang setara dengan teknologi abad-21. Tari Saman, karapan sapi, permainan bambu gila, tari kecak, barong, jaranan, ketoprak, ludruk, wayang kulit, loncat batu adalah beberapa ekspresi berkesenian adiluhung itu, demikian pula badik, kujang, sumpit, rencong, kapak batu dan seni beladiri bernama pencak silat. Pun rendang, nasi goreng dan es kelapa, kuliner yang terkenal paling enak di dunia datang dari negeri kepulauan ini.

Layang-layang tertua di dunia bernama Kaghati Kolope berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, bukan di Tiongkok seperti pendapat umum selama ini. Layang-layang (kaghati) terbuat dari daun-daun kolope dan dijahit dengan lidi dan kerangka dari bambu, dengan benang terbuat dari serat nenas ini telah memiliki umur lebih dari 4.000 tahun seperti dibuktikan oleh lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani. Tak mengherankan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengakui berbagai kekayaan budaya Nusantara seperti Borobudur, Prambanan, Tari Saman, Wayang, Angklung, Keris, sistem pengairan subak, tas unik wanita Papua bernama Noken dan Batik sebagai warisan pusaka dunia.

Gambaran-gambaran indah itu pula ada dalam berbagai lukisan kulit kayu, ukiran, batik tulis dan kain tenun yang dikenakan orang-orangnya. Inspirasi awan berarak – “mega mendung”, bunga, burung itu telah menuntun tangan-tangan terampil menggerakkan canting diatas kain mori membentuk motif batik yang indah tak terkira. Demikan pula bentuk-bentuk flora dan fauna menjadi motif kain yang ditenun dengan beraneka macam warna dari bahan-bahan alami. Seperti mengungkapkan sebuah perasaan inferior, beberapa asset khasanah budaya itu; Batik, Reog, Angklung, Tari Tot-Tor, serta lagu Rasa Sayange yang melegenda pernah diklaim sebagai milik negeri tetangga.

Sayangnya bangsa Nusantara terlalu mudah terlena oleh kanyataan memiliki alam dan budaya yang kaya. Mereka kurang mencermati niat jahat bangsa-bangsa Eropa yang ingin menguasai kekayaan Nusantara yang terberkahi itu. Diawali dengan berdagang, kemudian bangsa yang serakah itu ingin memonopoli. Jika pedagang Arab atau China membeli melalui penguasa pribumi, maka para penjajah Barat itu bernafsu untuk menguasai sumbernya sambil membunuh karakter berdagang bangsa maritim Nusantara. Tidak ada kesetaraan, “mitreka satata”, dalam hubungan yang eksploitatif seperti itu. VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) mulai membangun benteng-benteng seperti Ford Rotterdam, Fort Marborough, Fort Oranye, dan Fort Belgica-Banda. Setelah memenangkan persaingan dengan bangsa Eropa lainnya, mulai 1602 VOC memonopoli rempah-rempah dan hasil bumi lainnya dengan menindas rakyat Nusantara sampai keruntuhannya di tahun 1799 karena korupsi dan salah urus.

Penjajahan model klasik itu mengambil bentuk penghisapan yang didukung dengan rapinya administrasi dan kekuatan senjata. Kekejaman mewarnai prosesnya, seperti dilakukan oleh Jean Pieterzon Coen, sang penjagal masyarakat Aru dan Banda dalam upayanya menguasai monopoli rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah yang di Eropa pernah menjadi persembahan kepada para dewa, berfungsi obat serta bercita rasa tinggi itu hancur karena proses kolonialisme kejam untuk mendapatkannya. Yang lebih belakangan kita mengenal Raymond Westerling yang membantai puluhan ribu rakyat Sulawesi Selatan dan Rawagede demi memadamkan “pemberontakan” bangsa Nusantara yang ingin merdeka. Perlawanan negeri-negeri Nusantara gagal karena kecerdikan negeri mungil penjajah dari benua Eropa bernama Belanda, yang melakukan strategi devide et impera selama 350 tahun.

Bersambung………..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama