Sepeninggal Sultan Agung, VOC mulai menguasai pemerintahan feodal Mataram, menjarah harta pusakanya, menghisap kekayaan alamnya, merusak nilai budaya dan agamanya. Pelan namun pasti Belanda menghancurkan kerajaan Jawa terakhir. Pemerintah Hindia Belanda dengan cerdiknya mampu memecah belah kerajaan menjadi wilayah yang semakin kecil dan bisa menentukan pengganti raja, sekaligus menyetir segala kebijakannya demi kepentingan penjajahannya. Hubungan Belanda dengan kerajaan Jawa berubah menjadi sebuah kolonisasi sejak penyerbuan Thomas Stamford Rafles ke Jogjakarta tahun 1812 dalam sebuah periode peralihan singkat kekuasaan Inggris dan Belanda. Sebagai Sultan ing alaga, kalifatullah sayidin panatagama, raja Jawa telah takluk dibawah kendali orang-orang Belanda.

Raja-raja Jawa masa kolonial sudah dikebiri kekuasaannya, namun mencoba mempertahankannya di hadapan rakyat jelata dengan gelar-gelar pemerintah Belanda. ……. Grootkruis der Orde van de Nederlandsche Leeuw, Luitenant Generaal, Grootkruis der Kroonerde van Siam, Grootkruis der Orde van Nichan Iftinkhar van Tunis, Grootkruis der Orde van de Poolster van Zweden, Grootkruis der Kroninklijke Orde van de Ster van Anjoan, Grootkruis van de Keizerlijke Orde van den Witten Ollifant van Siam, Grootkruis van de Keizerlijke Orde van Annam, Grootkruis van de Orde Poolster van Sweden, Grootkruis der Orde van Leopold II van Belgie, Grootkruis der Orde van Cambodja …….. yang bisa berkilo-kilogram emas dan perak beratnya.

Setelah mendirikan benteng di Batavia dan Semarang, kekuatan VOC semakin mencengkeram negeri Nusantara. Benteng-benteng itu menjadi pangkalan militer, pengaman bagi monopoli komoditi perdagangan sekaligus alat untuk menakuti penguasa pribumi. Diponegoro, yang dianggap sebagai ratu adil bagi sebagian besar rakyat terjajah tersebut muncul sebagai simbol perlawanan rakyat. Sebanyak 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu keraton dan 4 kyai guru turut berperang bersamanya, selain tentu saja para tetua dan rakyat kebanyakan. Insiden pematokan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo untuk pembangunan jalan raya hanyalah pemicu perlawanan semesta rakyat Jawa yang telah lama menderita.

Diponegoro membangun pasukannya dengan struktur Janissary Turki yang melegenda sebagai pasukan yang mampu membuat Eropa ketar-ketir selama beberapa abad. Sang Pangeran banyak terinspirasi sistem militer khilafah Kesultanan Ngerum pelindung kaum muslim sedunia itu. Diponegoro menyusun pasukan Bulkiyo (Bölük), Turkiyo, Burjomuah dan Arkio yang dilengkapi dengan tombak, panah, pedang, bedil serta meriam yang dibuat di Gresik.

Selama lima tahun berjihad, pasukan Diponegoro berhasil melenyapkan nyawa 8.000 tentara Eropa dan 7.000 tentara pribumi di pihak Kolonial. Sementara korban diantara rakyat Jawa adalah 200 ribu orang, dimana separuh rakyat Jogja mati dan dua juta lainnya mengungsi. Hanya strategi benteng cultuur stalsel yang bisa memperlemah perlawanan itu, namun tidak mengalahkannya sama sekali. Sebelum peristiwa pengkhianatan itu, kedua pihak telah sama-sama letih.

Meski telah menurun, perlawanan Sang Pangeran terus berlangsung. Berkali-kali Sang Pangeran lolos dari sergapan pasukan Belanda dan bahkan lolos dari maut meski dua kali dihantam mimis. Jenderal De Kock berfikir hanya tipuan yang bisa menghentikan perlawanan kesatria Jawa itu, meskipun harus mengorbankan kehormatannya sendiri sebagai prajurit Eropa. Atmosfir ketegangan memenuhi ruangan, saat sebuah pembicaraan “saling pengertian” awal yang diatur oleh Kolonel Clerens dan Ali Basah (Ali Pasha) Sentot Prawirodirjo berlangsung. Pembicaraan itu seperti telah diatur sebelumnya oleh De Kock tak menghasilkan kesepakatan apapun.

Angin seperti berhenti bergerak, daun-daun diam menahan diri untuk bergoyang, menantikan apa yang akan terjadi pada detik-detik ke depan. Bendera merah putih biru-pun malas untuk berkibar, saat sang Pangeran menatap tajam kearah mata Jenderal De Kock yang berkata:

“Anda tak usah pulang ke Matesih, Pangeran. Saya menahan anda untuk menyelesaikan semua persoalan pada hari ini”.

Kalimat De Kock yang seperti sambaran petir di siang bolong itu membuat gusar panglima perang Diponegoro, Mertonegoro, “Bukankah pertemuan hari ini adalah silaturahmi, kalau membicarakan urusan politik maka di hari yang lain saja”.

Tidak bisa, saya ingin menyelesaikan semuanya sekarang. Bukankah saya telah memberi waktu satu bulan selama bulan puasa untuk berfikir”, ujar De Kock. “Atas nama Gubernur Jenderal, saya ingin perang diakhiri secara tuntas”.

Masygul akan tipu muslihat yang dirasakannya, Diponegoro coba memprotes dengan memanggil para perwira penghubung, namun dijawab De Kock bahwa hal itu sudah terlambat.

Hai Jenderal, anda itu sungguh jahat (Dursila). Kejadian ini menunjukkan hati anda buruk. Anda menjebak saya untuk anda tangkap. Padahal tak ada sekecil debu-pun niat saya untuk menyerah. Selama bulan puasa anda tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbuat licik seperti ini. Kenapa hari ini anda mengatakan terburu-buru. Anda sama sekali tidak menunjukkan perilaku seorang kesatria Eropa”. Geram merasa ditipu De Kock, sang Pangeran hanya bisa mencakar pegangan kursi kayu yang didudukinya hingga membuatnya terkelupas.

Saya tidak takut mati, Jenderal. Karena dalam setiap pertempuran saya selalu lolos dari maut. Saya merasa lebih baik mati dalam pertempuran daripada menyerahkan diri”, sambung Diponegoro. Lawe bisa merasakan kesedihan mendalam para pendukung Diponegoro di ruangan itu, yang mirip awal dari sebuah dendam peradaban. Beberapa tak kuasa menahan emosinya dengan menghunus kerisnya, yang segera dicegah oleh Diponegoro. Sang Pangeran nampak merentangkan tangannya untuk menghibur seorang perempuan yang menangis histeris.

Saya tak bermaksud membunuh Anda, Tuan…..”, De Kock mencoba mendinginkan suasana. Jenderal Hendric Markus De Kock terus berupaya menjawab pertanyaan Diponegoro dengan setenang mungkin, meski wajah anak buah Raja Willem III itu selalu menunduk karena merasa sangat malu telah berbohong. Demikian pula para perwira Belanda lainnya menunjukkan tatapan mata kosong dengan melihat kearah kejauhan. Di mata Diponegoro mereka berperilaku seperti perempuan.

De Kock lalu memberi isyarat kepada pasukannya untuk melucuti seratusan pasukan pengawal Pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda yang lain pimpinan Mayor Michiels juga secara rahasia telah berada di barak para pengikut pangeran di Metesih. Sang Pangeran Jawa pun ditawan lalu dimasukkan kereta kuda dan dibawa ke tempat pengasingan. Rasa kesedihan itu seperti menjalar merasuki diri Lawe. Sebuah keterpukulan jiwa akibat pengkhianatan. Namun, Diponegoro hanya pasrah menerima kenyataan pahit itu. Perpecahan diantara pendukungnya turut melemahkan perlawanannya. Ia teringat suara ghaib di Pantai Parangkusumo, “Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur“.

Bersambung ….

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama