Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati dan diangkat menjadi qadli, guru besar tarekat sekaligus panglima perang Kesultanan karena kedalaman ilmunya. Karena sedang berjuang membendung VOC, pada tahun 1660, Syekh Yusuf memimpin pasukan melawan kolonial Belanda. Berkali-kali pasukan laut dan daratnya berhasil memukul mundur pasukan VOC. Namun, pada pertengahan tahun 1683, Belanda yang melakukan pengejaran secara teratur berhasil menangkap Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya.
Setelah ditangkap Belanda, maka kisah Penderitaan Syeh Yusuf dan pengikutnya yang diasingkan, disiksa, seperti layaknya budak bermula. Ahmad, merenungkan dalam-dalam derita yang menimpa sesepuh Makassar dan Banten, Syekh Yusuf al Makassari al Bantani, ketika Syekh dan 49 orang pengikut serta keluarganya dibuang oleh Belanda ke Cape Town di selatan Afrika. Menantu Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan Ulama keturunan Raja Gowa itu merasakan jahatnya kekuasaan kolonial Belanda mencengkeram bumi Nusantara. Demi mengukuhkan penjajahannya, Belanda membuang orang-orang yang tidak sejalan dengan politik penghisapan yang dilakukannya. Maka serombongan pejuang Nusantara itu dijauhkan dari para pengikutnya agar tidak memberikan pengaruh politik perjuangan yang bisa membahayakan kekuasaan Belanda.
Setelah dibuang ke Srilangka, Syekh Yusuf masih juga memberi pengaruh pada para jamaah haji yang melewati pulau di selatan India itu. Maka penjajah Belanda dengan menggunakan kapal Voetboeg kemudian membuang lebih jauh lagi ke perkampungan sepi area pertanian di Zandvliet di dekat muara sungai Eerste, 70 kilometer dari Cape of Good Hope (sekarang Cape Town). Dua isteri, 12 santri, dua pembantu wanita, 14 sahabat, putra-putri dan para pengikutnya ada dalam kapal itu. Rupanya semangat jihad Syekh Yusuf tak pernah padam, sehingga di tempat pembuangan para budak, pekerja atau tahanan politik itu beliau menyebarkan islam sebagai bentuk perlawanan secara sembunyi-sembunyi yang kemudian menjadi komunitas muslim Afrika Selatan.
Perjuangan Syekh Yusuf melawan Belanda memberi inspirasi bagi Nelson Mandela untuk melawan bentuk rasisme yang diterapkan oleh Pemerintahan Afrika Selatan yang didominasi kulit putih keturunan Belanda. Perjuangan Syeh Yusuf pada tahun 2005 diganjar oleh presiden Afrika Selatan dengan The Order of Supreme Companions of OR Tambo (Gold) sebagai bentuk penghargaan tertinggi atas jasa-jasanya. Syeh Yusuf menjadi pahlawan di dua negara, Indonesia dan Afrika Selatan. Ia wafat pada tahun 1699 dan dimakamkan di Maccassar Faure (kramat Makassar). Di monumen untuk mengenang perjuangannya dituliskan; “In memory of syekh Yusuf, Martyr and Hero of Bantam, 1626-1699”.
@@@
Ahmad sedang menyusun dua historical research secara paralel dengan judul: “Corruption and the Collapse of Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) in 16th Century” dan “the Dutch in Dutch Indies and the British in Naulis Australis: a comparison of 17th and 20th century Collonialism”. Ia berjanji dalam batinnya untuk menelusuri aneka manuskrip Nusantara maupun surat-surat dan dokumen resmi masa kolonial untuk merekonstruksi kembali masa penjajahan di Nusantara dan Australia di tiga abad tersebut.
Upaya penelitian kualitatif tersebut selama ini belum pernah dilakukan oleh para peneliti sejarah Indonesia. Kebanyakan para peneliti kita menyerah pada narasi sejarah yang dibuat oleh orientalis terkait penguasa penjajahan. Bahwa motif penjajahan adalah gold, gospel and glory, tanpa menyelami lebih dalam motif-motif lain, dinamika yang terjadi serta sebab-sebab pelemahan penjajahan itu.
Penelitian ini memerlukan keseriusan dan daya tahan, selain juga mahal. Ahmad telah bertahun-tahun yang lalu mempersiapkan kemampuan filologi membaca naskah-naskah kuno Nusantara di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Dari sekian banyak aksara Nusantara, ia telah pelajari aksara Jawi Pegon dan aksara Lontara. Sebagai penelitian berkelanjutan, Ahmad merencanakan untuk menyelesaikannya saat ia menempuh S-3 di Eropa yang akan ia kunjungi berikutnya. 24.000 manuskrip Nusantara yang tersimpan di Belanda dan Inggris telah menarik kuat minat penelitian Ahmad untuk menyusun puzzle dan menarasikan kembali sejarah Nusantara.
Sepanjang hari, lima hari seminggu, Ahmad seperti tenggelam di Perpustakaan Nasional Australia, dengan koleksi-koleksi berharga khususnya sumber-sumber sejarah masa-masa kolonial. Ia mengunjungi perpustakaan di dekat Fountain Lake Burley Griffin itu dengan mengendarai sepeda. Orang seperti Ahmad menemukan surganya di perpustakaan itu, memunguti ilmu pengetahuan senilai emas permata berupa naskah-naskah kuno dan koran-koran masa kolonial yang telah di-mocrofilm-kan. Ia merasa berada di Bait al Hikmah, perpustakaan terbesar era Abbasiyah di Baghdad yang menyimpan jutaan judul buku.
Bagaimana Cornelis De Hotman telah sampai ke Sumatera dan Banten pada tahun 1596 sebelum mati ditangan Laksamana Malahayati di Aceh, sementara saudaranya bernama Frederick De Hotman sampai ke Benua Kanguru. Pada tahun 1599 kapal-kapal Belanda telah sampai di pusat produksi rempah-rempah di Maluku. Dua tahun kemudian, 1601, Belanda menghancurkan armada laut Portugis di Banten. Kemudian Belanda mengalahkan Inggris dalam perebutan kepulauan Nusantara, awal dari penjajahan berabad lamanya. Sejak saat itu, penduduk Nusantara diperbudak, rakyatnya diadu domba, kekayaan alamnya dikuras habis, dan agama serta budayanya dihancurkan.
Di perpustakaan itu ia temukan peta-peta lama yang dibuat oleh Isaac de Graaf antara 1705 sampai 1743 tentang kepulauan Nusantara. Ia akan menggunakan peta-peta kuno itu untuk melengkapi narasi riset kualitatifnya. Ia berupaya memahami bagaimana keadaan Nusantara saat VOC memonopoli rempah-rempah, komoditi yang sangat mahal di Eropa. Peta-peta itu menunjukkan bagaimana jalur rempah-rempah itu diangkut, seperti cengkeh dari Ambon, buah pala dari Pulau Banda, serta merica dari Jambi, Palembang, dan Bantam.
Peta kuno itu menggambarkan perjalanan laut kapal-kapal VOC mulai Belanda sampai kepulauan Nusantara melalui titik-titik yang merupakan tempat-tempat yang secara permanen dijadikan koloni oleh Belanda. Pada sebuah peta ditunjukkan rute perjalanan dari pelabuhan Texel, Amsterdam, melalui selat Inggris sampai ke Madeira. Kertas rapuh lainnya menunjukkan bagaimana peta navigasi itu mengarahkan kapal-kapal VOC ke pantai Maroko, melewati pulau Cape Verde lalu sampai di Cape of Good Hope. Pelayaran selanjutnya melewati Samudera Hindia yang luas menuju Selat Sunda untuk sampai ke Batavia atau Jayakarta.
Beberapa kapal Belanda seperti yang dipimpin oleh Willem Janszoon, Abel Tasman, Willem de Vlamingh juga sampai ke Benua Australia dan membentuk kota koloni baru. Para penjelajah Belanda itu telah memberi nama Australia lama New Holland. Sedangkan para pelaut Inggris juga telah sampai ke kepulauan Nusantara seperti William Dampier dan James Cook dan akhirnya mencapai Australia sebagaimana George Bass dan Mattew Flinders. Masih menjadi pertanyaan besar di benak Ahmad Gassing, kenapa pada akhirnya terjadi “tukar guling” antara Inggris dan Belanda dimana Belanda mendapatkan Kepulauan Nusantara yang subur dan kaya sementara Inggris mendapatkan tanah Australia yang kering dan luas bergurun. Sebagai penjajah ironisnya Belanda memiliki tipikal sangat ortodoks yang benar-benar menghisap tanpa mengurus kesejahteraan rakyat pribumi.
@@@