JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin menyoroti gejala ekonomi syariah yang sekadar menjadi bahan bacaan tanpa penerapan.
“Ekonomi syariah itu ajaran yang belum diaplikasikan tapi dibaca saja di banyak lembaga pendidikan,” kata Ma’ruf di sela penandatanganan komitmen pengembangan ekonomi dan keuangan syariah untuk memperkuat struktur ekonomi domestik di kantornya, Jakarta, Rabu (24/1).
Nota Kesepahaman itu sendiri ditandatangani MUI bersama Bank Indonesia, Badan Wakaf Indonesia dan Badan Amil Zakat Nasional.
Kendati begitu, Ma’ruf mengatakan ekonomi syariah mengalami pertumbuhan yang baik jika diukur dari tumbuhnya lembaga keuangan syariah.
Secara berangsur, kata dia, ekonomi syariah mampu mempengaruhi kebijakan di Indonesia. Tidak banyak di negara lain terdapat sistem perbankan ganda yang terdiri dari konvensional dan syariah.
“MUI dan BI merintis ekonomi syariah. Awalnya belum ada Dewan Syariah Nasional di MUI dan di BI belum ada direktorat khusus syariah,” kata dia.
Dia berharap lembaga keuangan syariah terus bertumbuh dengan berbagai variannya seperti perbankan, asuransi dan lembaga sosial keuangan yang mapan dan tersistem secara nasional.
Gubernur BI Agus Martowardojo terus berupaya mengembangkan ekonomi syariah dan bersanding dengan konvensional.
Agus mengatakan terdapat tiga platform untuk mengembangkan ekonomi syariah di antaranya pendalaman keuangan syariah, pemberdayaan ekonomi syariah serta penguatan penguatan riset dan edukasi keuangan syariah.
Ketua Badan Amil Zakat Nasional Bambang Sudibyo mengatakan komitmen BI, MUI, Baznas dan BWI dalam upaya mengembangkan ekonomi syariah merupakan awal yang baik untuk mensejahterakan umat.
“MUI saat ini perhatiannya dalam bidang ekonomi itu nyata. Periode sebelumnya itu lebih ke pendekatan fikih, shalat tapi agak sedikit bicara zakat. Akhir-akhir ini interaksi semakin banyak dengan MUI secara riil,” kata dia.
Dia mengatakan zakat, termasuk infak dan sedekah serta wakaf (Ziswaf) dapat menjadi sarana untuk mensejahterakan umat dari sudut pandang ekonomi, terutama kalangan lemah (dhuafa). Ziswaf harus dikelola dengan baik atau bukan pendekatan tradisional.
“Zakat ini harus dikelola seperti lembaga keuangan syariah, ada pendekatan akuntansi, hukum, teknologi informasi dan lain-lain. Tidak cukup dengan pendekatan tradisional karena kalau begitu, Baznas dan lembaga amil zakat tidak akan bisa besar dan merealisasikan potensi zakat Rp200 triliun. (Ant/SU05)