Menarik himbauan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, pada Rapat Konsultasi DPP Partai Golkar dengan kader Kepala Daerah di Jakarta. Saut berpesan agar “para calon kepala daerah, baik petahana maupun penantang, tidak menggunakan wacana politik biaya tinggi sebagai pembenaran menerima suap” (Media Indonesia, 20 Februari 2018). Tentu himbauan ini bukan “suatu gertakan belaka”, karena merupakan imbas dari banyaknya kepala daerah yang terpaksa harus “diamankan” KPK, karena terlibat kasus korupsi dalam dua bulan terakhir. Himbauan ini menjadi “lampu merah” bagi para politisi yang berniat menuju arena pilkada serentak tahun ini.
Pada dasarnya korupsi di daerah merupakan fenomena lama yang patut kita waspadai bersama. Yusuf dan Aryani (2015), pernah melakukan penelitian mengenai “Karakteristik Kepala Daerah, Afiliasi Partai Politik dan Indikasi Korupsi Belanja Modal”. Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI dan sampel 249 kepala daerah yang mengikuti pemilukada pada tahun 2010-2013, peneliti selanjutnya menguji fenomena korupsi di daerah. Dengan metode analisis regresi berganda, membuktikan bahwa status petahana (incumbent), tingkat pendidikan, usia dan afiliasi partai politik kepala daerah berpengaruh positif signifikan terhadap indikasi korupsi belanja modal (infrastruktur). Penelitian akademis ini semakin menguatkan asumsi bahwa permasalahan korupsi di daerah benar keberadaannya.
Korupsi yang bermuara pada sang kepala daerah, hanya merupakan fenomena gunung es dari banyaknya permasalahan korupsi di daerah. Bahkan Master dan Graycar (2015), akademisi dari Australia, mensinyalir korupsi di daerah hampir merupakan fenomena di seluruh negara-negara di dunia, termasuk negara maju. Di Australia sendiri, yang menurut Transparansi Internasional tergolong negara dengan indeks persepsi korupsi rendah, berdasarkan polling yang pernah dilakukan oleh lembaga riset disana menunjukkan lebih dari 4 juta penduduk Australia berpendapat pemerintah daerah setempat korup. Apabila dihitung, maka pendapat tersebut mewakili sekitar 16% dari keseluruhan penduduk Australia, yang menurut catatan World Bank berpenduduk sekitar 24 juta jiwa.
Tentu kita bertanya, seperti apa gerangan korupsi di Australia yang merupakan negara maju dalam penerapan sistem integritas. Menurut investigasi The New South Wales – ICAC (Independent Commission Against Corruption), lembaga anti rasuah negara bagian New South Wales, staf dan pejabat daerah rentan terhadap penyuapan (bribery). Modus yang paling sering adalah berupa hadiah voucher, atau hadiah dalam bentuk lain dari pihak rekanan (supplier) sebagai reward atas sejumlah proyek diberikan.
Potret korupsi di Australia ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hubungan antara pihak pengusaha (businessman) dan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan “proyek di daerah” harus diwaspadai sebagai wilayah yang rawan terjadi korupsi. Terlebih lagi, fakta di Indonesia menunjukkan rata-rata kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK beberapa waktu lalu, tersandung kasus suap proyek di wilayah kekuasaanya. Diduga suap ini untuk membiayai biaya pilkada di 2018 (Media Indonesia, 20 Februari 2018).
Hal lain yang menarik adalah pernyataan Ketua KPK bahwa “90% kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan sejumlah korporasi, dengan modus antara lain, penyuapan untuk mendapatkan sejumlah proyek atau mempengaruhi kebijakan.” Selanjutnya data KPK mengungkapkan bahwa “sejak tahun 2004 hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK adalah kasus penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7% diantaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5% merupakan kasus penyalahgunaan anggaran” (Jurnal Integritas No.1, Vol. 3, 2017). Fakta dan data ini makin memperkuat keyakinan kita bahwa modus penyuapan yang timbul akibat hubungan antara dunia usaha (businessman) dengan birokrat daerah merupakan hal yang sangat rawan menjadi ajang transaksi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Barangkali belum lekang pula dari ingatan kita bagaimana kasus suap yang melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dengan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Ariesman diduga telah menyuap Sanusi sebesar Rp 2 miliar guna mendukung pembahasan Perda Reklamasi Jakarta, karena Agung Podomoro sangat berkepentingan sebagai pihak pengembang untuk mendapatkan proyek di atas pulau di sebelah Utara Jakarta tersebut (Jurnal Integritas No.1, Vol. 3, 2017).
Padahal bila kita berpikir kritis, apakah proyek reklamasi ini adalah suatu bentuk kegiatan yang patut menjadi prioritas utama pemerintah daerah demi kepentingan masyarakat kota Jakarta?, tentu jawabannya belum tentu. Sebaliknya malah, banyak masyarakat yang terpaksa digusur dan kehilangan mata pencarian akibat proyek tersebut. Terlebih lagi proyek ini juga banyak melanggar berbagai aturan, termasuk aturan terkait lingkungan hidup. Namun, kekuatan bisnis dan kepentingan pejabat daerah telah berkolusi, sehingga mengalahkan kepentingan rakyat banyak.
Tentulah semua kejadian dan fakta penting diatas wajib menjadi perhatian dan pelajaran kita bersama. Terutama memasuki tahun politik saat ini dimana ajang pemilihan kepala daerah serentak sudah didepan mata. Masyarakat harus benar-benar cerdas dan jeli untuk memilih kepala daerah yang nantinya akan memperjuangkan kepentingan mereka, bukan sebaliknya justru melupakan janji-janji kepada rakyat di masa kampanye. Petaka serupa akan segera timbul apabila pemimpin daerah yang muncul adalah pihak-pihak yang berorientasi politik praktis semata dengan menghalalkan segala cara.
Para calon kepala daerah tersebut barangkali telah menghabiskan banyak dana untuk merebut kekuasaan. Bila “dana” itu berasal dari kantong pribadi, maka mereka akan berpikir bagaimana memperoleh gantinya. Sedangkan bila “dana” diperoleh dari pihak lain, maka mereka akan cenderung “membayar jasa pihak sponsor” melalui proyek atau program daerah yang menjadi otoritasnya. Kita semua berharap maraknya korupsi di daerah seperti terjadi saat ini akan segera berakhir. Semoga himbauan pimpinan KPK cukup ampuh untuk mengajak para pihak segera bertobat dari praktek-praktek koruptif. Waktu yang akan membuktikan semua.
Penulis: Dedy Eryanto
PhD Student Victoria University of Wellington, New Zealand.