Seorang penyair mengatakan :
idza ruziqal fataa wajhan waqaahan # yuqallibul umuura kamaa yasyaa-u
(Apabila seseorang itu diberi wajah buruk rupa, maka dia akan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya)
Artinya, jika seseorang itu memiliki penampilan wajah buruk, maka persepsi umum menilai bahwa dia berkecenderungan untuk selalu berbuat negatif.
Tetapi, jika si buruk rupa ini ternyata berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan respon dan pujian dari masyarakat yang lebih baik dibanding pujian terhadap orang berwajah normal yang melakukan kebaikan semacamnya.
Ilustrasi, jika ada si buruk rupa yang senang berbuat baik dan bersedekah kepada para tetangganya, maka masyarakat akan mengatakan : “Masyaallah, orang ini luar biasa, dia sangat baik hati, tidak seperti yang diperkirakan orang, karena sekalipun dia itu berwajah buruk rupa, tetapi hatinya sangat mulia.”
Berbeda, jika yang berbuat baik itu adalah orang berwajah normal dengan kebaikan yang serupa, maka mereka pun akan mengatakan : `”Masyaallah, orang itu baik sekali…!”
Ucapan ini tanpa ada tekanan intonasi tertentu, seperti saat memuji si buruk rupa tadi.
Namun sebaliknya, jika si buruk rupa ini ternyata berbuat kejahatan, maka masyarakatpun -paling tidak di dalam hati- akan mengatakan : “Sejak semula aku sudah menduga, bahwa orang itu bukanlah orang baik-baik, karena dengan melihat wajahnya yang menyeramkan dan penampilannya yang menakutkan saja mengundang tanda tanya…!”
Jadi, masyarakat secara umum akan menilai seseorang itu, sesuai dengan penampilan dan bahkan mempertimbangkan bentuk wajahnya. Sekalipun semua itu terlepas dari benar atau tidaknya asumsi masyarakat ini.
Seringkali terjadi di sebuah perkampungan misalnya, saat didapati ada seorang pendatang asing, yang kebetulan wajahnya buruk rupa dan berpenampilan jelek, maka terbersit dalam benak masyarakat bahwa gerak-gerik orang itu harus selalu diwaspadai, karena penampilannya yang tidak simpatik, ditunjang wajah yang buruk menyeramkan, sering mengundang kecurigaan, sekalipun terkadang orang asing ini datang dengan bertujuan baik.
Sebaliknya, tidak jarang pula terjadi di suatu perkampungan yang terdapat pendatang asing, dan kebetulan wajahnya tampan, dengan penampilan trendi menurut standar warga kampung se tempat, lantas masyarakat beranggapan bahwa orang ini adalah orang baik, karena wajah dan penampilannya sangat terhormat. Jika suatu saat, ternyata diketahui bahwa si tampan itu adalah seorang penjahat, maka masyarakat hanya dapat berujar: “Siapa yang menyangka kalau dia itu ternyata seorang penjahat, karena setiap harinya, dia berpakaian sangat rapi, trendi, dan wajah tampan itu sering tersenyum kepada kita itu, sungguh tampaknya dia itu orangnya simpatik… !`”
Barangkali inilah fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat. Untuk itulah, setiap manusia yang diberi bentuk wajah berupa apapun, maka hendaklah selalu membingkainya dengan akhlak yang mulia dalam menjalani hidupnya.
Karena, jika ia termasuk si buruk rupa, maka dengan kebaikan akhlak perilakunya, akan mendapatkan respon dan pujian dari masyarakat yang jauh lebih baik.
Sedangkan jika ia termasuk orang yang diberi wajah tampan dengan penampilan baik, maka respon masyarakat akan mengatakan: “Beruntung sekali orang ini, sudah wajahnya tampan, pakaiannya rapi, kok hatinya baik sekali, waaah … akhlaknya sesuai dengan penampilannya…!”
Nabi SAW bersabda : Antum syuhadaa-ullahi fil ardhi (kalian adalah saksi Allah di muka bumi).
Tentunya, jika masyarakat menilai seseorang itu baik, maka diharapkan juga bahwa Allah akan menggolongkannya sebagai hamba yang baik, karena Allah menerima persaksian masyarakat.