Curahan hati
“Nah, ini tempatnya!” pak Wito menghentikan sepedanya di depan rumah bercat coklat muda. Seraya menurunkan barang bawaan Arif, diamati rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya selama Arif bekerja di Selatpanjang. Rumah yang tidak terlalu besar dan juga tidak lerlalu kecil, berpagar besi dengan runcing di ujungnya seperti tombak berjejer rapi. Rumput-rumput liar yang tumbuh di halaman depan rumah itu menambah keyakinan Arif bahwa rumah ini tidak dirawat dengan baik. Sementara pak Wito membuka pagar dan memasukkan sepedanya, Arif masih terpaku di luar, menyaksikan suasana yang begitu asing dan sangat terkesan jorok. Menyedihkan. Itu kesan pertama yang Arif rasakan dan dia tangkap dari sana.
“Eh, bengong aja! Ayo masuk!” pak Wito menyentuh pundak Arif. Diangkatnya barang bawaan Arif ke dalam.
“Nah, ini tuan rumahnya silahkan berkenalan!” kata pak Wito ketika seorang laki-laki keluar dari kamarnya.
“Hading ”, suara orang itu mengenalkan dirinya pada Arif sambil menjulurkan tangannya, namun Arif tidak begitu jelas mendengar nama orang itu. Buru-buru Arif mengulurkan tangannya untuk menyambut uluran tangan Hading .
“Eh, Arif”, sahutnya sambil mencoba tersenyum ramah. Memang begitulah sifat Arif yang selalu mencoba tersenyum dengan siapapun yang dia temui bahkan meski sendirian dia tersenyum mengagumi dirinya sendiri sambil melihat cermin.
“Jam berapa tadi berangkat dari Jawa?”
“Sekitar jam 07.15, sampai di Batam pukul 10.30 kemudian berangkat ke sini jam 12.15”, tanpa di minta Arif menjelaskan.
“Aku balik dulu ya, Pak Hading dan Pak Arif, masih ada pekerjaan di sekolah”, ujar pak Wito.
“Oh ya, Pak, terimakasih ya, Pak Wito”, sahut Arif.
“Minum dululah, Pak!” suara pak Hading menanggapi pak wito yang sudah memegang sepedanya hendak kembali ke sekolah.
“Ndak, terimakasih Pak, aku ke sekolah dulu, oh ya nanti ajak pak Arif jalan-jalan biar tahu Selatpanjang!”
“Beres, Pak jangan khawatir!” sahut pak Hading .
“Mau ke kamar sekarang atau istirahat dulu di sini. Eh iya, kamarmu di belakang, tinggal di sana yang kosong”
“Terserah Mas, deh”
“Eh, jangan panggil Mas dong, Hading saja gitu biar lebih akrab, aku jadi nggak enak lho!”
“Iya, Mas…eh, Pak… kok jadi bingung ya tapi memang lebih baik aku panggil Pak saja kita kan sebagai pengajar dan pendidik maka panggilan yang cocok ya Cik Gu alias Pak Guru hehe…”, sahut Arif sambil nyengir kuda.
“Ya, udah terserah kamu ajalah mau panggil aku apa, sekarang gimana istirahat dulu atau langsung bersih-bersih kamar dulu?”
“Enaknya sih bersih-bersih kamar aja dulu, biar nanti langsung istirahat”
“Ayo kalo gitu aku antar ke kamar belakang, sini barangnya aku angkat!”
Tanpa basa-basi lagi pak Hading mengangkat barang bawaan Arif ke kamar belakang.
“Nah, ini kamarmu di sini, Rif kutatapi kamar berukuran 3×3 meter dengan dipan dan satu almari plastik. Kemudian mereka langsung memberesi kamar itu dengan penuh semangat. Keringat kedua orang itu membasahi baju yang mereka kenakan. Sekitar 30 menit kedua orang yang baru kenal itu sudah hampir selesai membersihkan kamar belakang.
“Assalamualaikum”, tiba-tiba suara salam dari depan rumah.
“Waalaikum salam”, sahut mereka berdua.
“Nah, ini penghuni kamar depan”, kata pak Hading menunjuk seorang pria yang melepas sepatunya.
“Oh, ada penghuni baru rupanya, kenalkan Nyoman!”, pak Nyoman mengulurkan tangannya kepada Arif.
“Arif”, jawabnya pendek. Dalam pikirannya bertanya-tanya. Nyoman itu nama dari Bali. Jangan-jangan dia memang berasal dari Bali. Akhirnya diberanikan diri bertanya tentang asal pak Nyoman.
“Bali mana asalnya, Pak?”
“Ha..ha…ha, Bali daerah Lumajang”
“Lho, memang di Lumajang ada nama daerah Balinya? Setahuku yang ada ya Bali Kuta, itu yang terletak di ujung perbatasan Jawa Timur”
“Ha..ha..ha…saya tuh Bali Jawa Timur itu tadi Lumajang. Kalau kamu Jawa Timur mana?”
“Aku Jawa Timur”
“Jawa Timur mana tepatnya?”
“Jawa Timur Probolinggo”
“Hah….Probolinggo?, ya kita tetangga dong. Aku Lumajang perbatasan Probolinggo. Wah tak di sangka kita bertemu di sini ya. Hah, jadi ada saudara juga akhirnya. Probolinggo mana? “
“Ketapang.”
“Bisa bahasa Madura kan?”
“Ooh, bisa dong. Asli bahasa Ibu, meski tak punya nenek dari Madura”
“Ya, sudah met nurusin bersih-bersihnya ya, kalau kamarku begini inilah berantakan. Beda dengan kamar Hading . Kamarnya tuh kamar ekskutif muda. Kamarku seperti kapal pecah ya begini ini berantakan, he…he..he.”
“Nanti malam ikut jalan-jalan ya, biar tahu situasi Selatpanjang seperti apa kalau malam hari”, ajak pak Nyoman.
“Ya, Pak. Saya pasti ikut biar tahu Selatpanjang kalau malam itu bagaimana”, jawab Arif.
(bersambung)
sambungannya cepat nyusul ya pak.
Lanjutannya d tunggu y..