Cinta itu seringkali egois. Bagi Lawe yang lelaki tulen, penolakan itu tidak bisa diterima sama sekali. Pasalnya ia telah menginvestasikan segenap perasaannya pada pujaan hatinya itu. Sebuah investasi seorang risk-taker, menempatkan seluruh “telur” cintanya pada satu keranjang. Jika keranjang itu terjatuh, maka hancurlah seluruh telur-telur cintanya. Dan pula Lawe bukan seorang bertipe mata keranjang, menebar telur cintanya di banyak wanita. Lawe adalah tipe lelaki setia sampai mati dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Jika Canka masih jadian dengan Joko adik kelasnya adalah alasan rasional, tetapi ketika Canka telah putus dengan bekas kekasihnya itu dan single saat ini bagi Lawe sangat tidak logis untuk menolak cintanya. Apalagi cintanya suci seperti milik Sang Arjuna.
Terbersit pikiran di kepala Lawe, apakah Canka sedang mempertanyakan kesungguhan cintanya. Apakah Canka takut Lawe hanya mengungkapkan cinta monyet kepadanya. Apakah Lawe seorang yang mudah menyerah dengan penolakan yang mirip sebuah Ujian Tengah Semester itu. Lulus tidaknya, Lawe merasa tergantung pada bagaimana ia menunjukkan kesungguhannya. Lelaki jatuh cinta biasanya terlalu percaya diri, meski kenyataan seringkali sebenarnya tak berpihak kepadanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Lawe berpikir untuk menyampaikan proposal cinta untuk kedua kalinya kepada Canka. Kali ini ibarat seorang pejuang pembebasan, Lawe melakukan persiapan persenjataan dan latihan yang jauh lebih matang. Selain itu, evaluasi dari “laporan-laporan intelejen kategori “A1” terbarunya mengatakan bahwa ada gelagat Canka akan menyerah jika Lawe mempergencar serangannya. Dan ia sangat yakin, agen rahasianya itu bukanlah seorang agen ganda. Ia ingin segera melakukan Ted Offensive[1], serangan spektakuler yang akan menjadi pertimbangan musuh untuk hengkang dari peperangan atau bahkan menyerah kalah.
Bagaimanapun upaya serangan cinta kedua semacam itu tidaklah mudah. Ia harus mengumpulkan serpihan-serpihan keberaniannya yang hancur oleh penolakan pertama Canka. Ia sirami lagi hati mudanya dengan harapan-harapan indah. Ia bentuk lagi keberaniannya itu seperti kesabaran pembuat gerabah membentuk vas atau kendi dari tanah liat basah. Untungnya perasaan cinta Lawe memang seperti tanah liat, tak mudah dihancurkan begitu saja. Namun terkait harga dirinya, ia harus rela merendahkannya selevel tanah, bahkan lebih rendah lagi.
Terus ia panjatkan doa-doa di malam-malam tahajutnya kepada Sang Pembolak-balik hati manusia. Cinta memang tak masuk di akal. Ketika virus itu telah menjangkiti seorang lelaki, maka ia laksana tenaga dahsyat yang membuat si lemah menjadi perkasa, si miskin menjadi merasa kaya, dan seorang prajurit berpangkat kopral merasa seorang jenderal pahlawan sebuah peperangan besar yang menentukan jalannya sejarah. Dalam kamus Lawe, Peribahasa “pungguk merindukan bulan” hanyalah ditujukan untuk orang-orang yang lemah dan bukan spartan sejati seperti dirinya.
Tiga bulan kemudian kesempatan kedua akhirnya datang juga. Lawe merasa sedang menulis sejarah hidupnya dengan tinta emas kali ini, sebuah perjuangan dahsyat untuk mendapatkan kekasih hati. Dengan rasa percaya diri yang lebih besar, Lawe mendatangi Canka dengan perhitungan akan menang mudah. Dikeluarkanlah segala persenjataan yang telah dipersiapkannya lama. Drone pesawat tak berawak, RPG, tank, rudal darat ke darat berpemandu sinar laser, serta segala bantuan tembakan kanon dari kapal perang yang berlabuh di pantai terdekat. Dengan kekuatan penuh itu Lawe berharap benteng pertahanan Canka akan runtuh rata dengan tanah, dan pujaan hatinya itu akan menyerah menerima kepungan perasaan cintanya tanpa syarat.
Namun, Dewi Cinta sekali lagi belum berpihak kepada diri Lawe. Ternyata Canka telah membangun benteng pertahanan hatinya jauh lebih kokoh. Bukan hanya terbuat dari material alibi yang lebih tahan ledakan serangan senjata konvensional cinta Lawe, tetapi rupanya Canka juga membangun bunker-bunker pertahanan psikologis yang jauh lebih tebal dan berlapis-lapis dengan teknologi terbaru yang tahan ledakan nuklir cinta sekalipun.
“Aku tidak ingin menjalin hubungan dulu, Mas Lawe”, jawaban Canka penuh diplomatis.
“Jujur, sebenarnya aku tidak punya perasaan cinta kepadamu, Mas”, tambahnya dengan wajah menunduk khas unggah-ungguh wanita Jawa.
Dari gravitasi keadaan itu menyusup di hati Lawe yang terbit dari rasa percaya diri yang berlebihan, sebuah penafsiran atas sorot mata Canka tentang adanya perbedaan “kasta” diantara mereka berdua. Maksudnya, Lawe yang proletar sementara Canka yang seorang rasional menginginkan pasangan dari kalangan orang berada. Lawe jelas tak bisa menerima kenyataan pahit itu. Sejauh itu Lawe adalah seorang rasionalis radikal yang menganggap segala sesuatu bisa diupayakan dengan kerja keras dan cara-cara yang cerdas.
Pendirian Canka kali ini berputar 360 derajat, tak bergeser sedikitpun. Bagaimanapun Lawe tahu sikap Canka mirip safety belt, malah mengikat semakin kuat saat ditarik dengan paksa. Hati Lawe seperti disayat sembilu, ngilu namun ia tak kuasa mengaduh, meski sesungging senyuman artifisial ia rekahkan kepada wanita impiannya itu. Otaknya mengatakan bahwa itu adalah hak Canka untuk menolaknya, meski hatinya tak terima. “Pria berhak memilih, wanita berhak menolak”, demikian pepatah Jawa. Bagaimanapun hati Lawe terlanjur jatuh hati, ibarat mabuk oleh pesona Canka yang memerlukan detoksifikasi untuk menghilangkannya. Namun lawe tak mau menghilangkan perasaan itu dari aliran darahnya.
Sejak itu sirna sudah senyum dan tawa di kehidupannya, karenanya ia seperti tak pernah mengenal arti ekspresi psikologis dari perasaan yang dinamakan bahagia. Hancur berkeping-keping hatinya, otaknya tak bisa menerima kenyataan yang melemparkan Lawe memasuki alam ide, dunia diantara kesadaran dan alam bawah sadar. Dunia tempat para pujangga memunguti inspirasi melalui syair-syair kesedihan yang dalam atau kegembiraan tiada tara. Mungkin kenyataan seperti itu yang membuat orang gila. Orang-orang yang otaknya tak bisa menerima kenyataan pahit, sementara jasadnya masih hidup. Sehingga kalaupun sebuah pistol ia arahkan ke kepalanya dengan sebutir peluru di dalamnya, Lawe takkan merasakan perubahan perasaan apapun saat pelatuk ditariknya satu demi satu. Ia sudah mati rasa.
“Canka, kau adalah cobaan terbesar dalam hidupku”, ujar Lawe pelan sesaat setelah peristiwa yang mengguncang jiwanya itu.
“Tetaplah kau anggap aku ini temanmu setelah peristiwa ini, ya Canka”
“Tentu, Mas”, jawab Canka juga dengan senyuman yang agak dipaksakan.
Wajah Lawe berubah seperti tangkai anggur yang telah ditinggalkan buahnya, pucat dan tak karuan. Peristiwa sore yang tragis itu tak urung menelusup menjadi mimpi-mimpi buruk dalam kehidupan Lawe. Ia adalah manusia biasa yang lemah. Sepertinya hanya Cankaya Hairunissa yang bisa menghapus mimpi-mimpi kesedihan itu. “Thikk!”, jika Canka menjentikkan jarinya, maka hilanglah bayangan kesedihan itu dari benak Lawe. Namun sayangnya, sejauh ini hal itu tak pernah terjadi.
[1] Serangan spektakuler Vietkong di berbagai penjuru kota pada Perang Vietnam yang membuat Amerika Serikat menarik diri setelah sembilan tahun berperang akibat opini publik yang berubah dramatis menentang perang itu karena korban tentara yang terlalu banyak.