Langkah Pendekar
Cerita ini adalah kisah hidup seorang pendekar bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ia yang punya nama kecil Mohammad Masdan ini, dikenal memiliki kemauan untuk belajar ilmu silat dan ilmu batin sangat luar biasa. Suratan takdir membawanya ke tanah Sunda, Padang bahkan Aceh, sehingga memberi kesempatan belajar ilmu-ilmu silat peninggalan leluhur di Nusantara. Ilmunya kelak diwariskan ke perkumpulan silat yang bernama Persaudaraan Setia Hati.
“Baiklah, kita bertanding sekali lagi. Tapi, aku akan menggunakan senjata. Engkau juga boleh menggunakannya!” kata Datuk dengan pasti. Ia keluarkan senjata kurambit di tangan kanan dan kirinya. Kurambit itu berbentuk pisau melengkung yang tajam. Di pangkal ganggangnya terdapat lubang yang bisa dimasuki jari telunjuk.
Mohammad Masdan tidak pernah bertanding dengan senjata tersebut. Ia melihat ujung kurambit yang tajam itu berbahaya. Ketika Datuk menyerang, ia selalu memperhatikan ujung kurambit yang menyambar-nyambar bersamaan gerakan Datuk yang maju terus bagaikan kerbau yang mengamuk.
Mohammad Masdan kewalahan. Berkali-kali kurambit menggores kulit dan bajunya. Datuk menyerang sungguh-sungguh, tetapi ketika hampir mengenai sasaran ia menahannya, sehingga luka yang ditimbulkan tidaklah berbahaya.
“Cukup!” teriak Datuk Rajo Batuah. “Engkau mati berkali-kali!”seru Datuk Rajo Batuah. Mohammad Masdan yang kelelahan dan banyak goresan ujung kurambit di baju dan kulitnya duduk tersimpuh. Tidak dinyana, ternyata ilmu silat yang ia kumpulkan dari banyak pendekar tidak mampu menahan serangan dari Datuk Rajo Batuah.
Datuk Rajo Batuah berdiri tegap, ia pertemukan dua kurambit di kanan dan kirinya di depan dadanya.”Apa yang kau lihat dari senjata ini, hai muridku?” tanya Datuk. Mohammad Masdan menggeleng pelan.
“Ini adalah bentuk hati. Dua senjata ini perlambang hati yang berpadu. Jika engkau bertempur, sesungguhnya senjata paling ampuh adalah hatimu” sahut Datuk Rajo Batuah. “Aku bertempur segenap hatiku, aku tahu dari mana aku berasal dan kemana aku akan kembali” terang Datuk Rajo Batuah.
“Gerakanku mungkin sama dengan gerakanmu, gerakan silat taralak yang pantang mundur, tapi dengan hati pasrah kepada yang Maha Kuasa, dengan hati yang sadar asal diri kita.” terang Datuk Rajo Batuah. Mohammad Masdan tertunduk, bukan karena bersalah, tetapi inilah saat terakhir dimana guru dan murid harus berpisah.
“Aku akan wariskan sebuah jurus pamungkas, yang diwariskan oleh para Panglima ahli silat. Jurus hasil pengalaman pertempuran hidup dan mati. Engkau tidak boleh mengajarkannya, kecuali jika engkau memiliki penerus yang sejiwa dan berlaku seperti dirimu. Jurus ini tidak bisa diajarkan kecuali hanya meniru, tidak bisa dengan latih tanding. Karena, hanya dua hasilnya, engkau mati atau lawanmu mati.”
Maka, dengan diiringi kesedihan, Mohammad Masdan belajar ilmu pamungkas. Ilmu yang hanya bisa disimpan sebagai ilmu, yang mungkin tidak akan lagi bisa diajarkan, dan mungkin tidak lagi akan bisa dilakukan. Pertempuran langsung antara kebaikan dan keburukan sudah tidak akan lagi ditemui. Yang muncul mungkin hanyalah zaman tipu muslihat, yang saling memperdaya dan mengadu domba.
Walaupun sedih harus berpisah dengan gurunya, Mohammad Masdan tetap ingin terus mengembangkan ilmu silat ke daerah lain. Oleh karena itu, ia pun pergi ke tanah rencong Aceh dan tinggal di rumah Suradi, adiknya. Selain belajar ilmu silat asli Aceh dari Tengku Akhmad Mulia Ibrahim, Mohammad Masdan juga memperdalam ilmu olah batin kepada Gusti Kenanga Mangga Tengah dan Tjik Eedojo.
Selepas dari Aceh, Mohammad Masdan kembali ke Betawi dan Bandung dua tahun lamanya. Selama itulah Mohammad Masdan merangkum kembali seluruh ilmu-ilmunya, memilih dan memilah mana yang baik bagi dirinya. Pada bulan puasa di tahun 1902, Mohammad Masdan pulang ke Surabaya.
Sebagaimana tradisi, Mohammad Masdan yang memiliki darah bangsawan harus meninggalkan nama kecilnya. Dengan disaksikan sanak keluarganya, Mohammad Masdan berganti nama menjadi Suro Diwiryo dengan gelar Ki Ngabehi, sehingga lengkapnya bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo.
Mohammad Masdan, atau sekarang bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo, mendapat tugas sebagai polisi. Ki Ngabehi Suro Diwiryo itu sangat pemberani menurut rekan-rekan polisi lainnya. Berkali-kali seorang diri dapat menangkap tahanan dan orang mengamuk yang dijumpainya di jalan. Berkali-kali pula ia dapat menangkap pencuri, melerai perkelahian, bahkan menggerebeg sarang perjudian. Ketika menggerebeg sarang perjudian, ia mampu melompati pagar tinggi dan membukakan pintu gerbang bagi rekan-rekannya.
Karena keberaniannya, Ki Ngabehi Suryo Diwiryo pun ditugaskan di kota Surabaya. Berbagai ujian pun datang. Pernah sekali waktu, Ki Ngabehi Suryo Diwiryo harus menenangkan seorang pelaut Belanda bertubuh tinggi besar yang tidak mau mematuhi aturan. Akhirnya terjadi perkelahian, dan Ki Ngabehi Suro Diwiryo terpaksa meladeninya hingga si pelaut terlempar ke sungai. Si pelaut kemudian ditolong rekan-rekan polisi dan pergi menjauh.
Kehebatan Ki Ngabehi Suro Diwiryo mengalahkan pelaut Belanda yang tinggi besar pun tersiar ke seluruh kota. Teman-teman dan saudara Ki Ngabehi pun ingin belajar darinya. Ki Ngabehi sebenarnya segan dijuluki guru, ia merasa tidak pantas menyandangnya karena ia tidak pernah menciptakan jurus-jurus hebat. Ia merasa tetap sebagai murid. Walau demikian, ia mau menularkan ilmunya tetapi bukan sebagai guru, melainkan sebagai saudara tua. Oleh karena itu kemudian ia mendirikan persaudaraan yang disebut “Sedulur Tunggal Kecer” atau disingkat STK. (Bersambung…)
(Catatan : Cerita ini adalah fiksi, namun berdasarkan kisah dari mulut ke mulut dan sumber-sumber di internet. Beberapa nama mungkin sesuai dengan sejarah yang sesungguhnya, mungkin pula tidak)