Suatu siang saat  saya berada di rumah dinas yang saya tempati, yang menurutku sudah tidak layak huni, ada keluarga pasien yang meminta saya agar memeriksa keluarganya yang masih berbaring di rumahnya sebab tidak memungkinkan untuk dibawa ke rumah dinasku yang sekaligus kugunakan sebagai tempat praktek.

Memang di wilayah kerjaku tersebut, daerahnya cukup terpencil dengan medan pegunungan dengan jalan-jalan yang sempit. Maka aku seringkali memaklumi kesulitan mereka untuk mendatangkan pasien ke tempat praktekku sehingga tak jarang sayalah yang harus mendatangi pasien.

“Iya bu saya datang kesana.” Jawabku atas permintaan pasien agar memeriksa keluarganya yang dirumah.

Kemudian saya keluar rumah, dan diluar hanya ada satu motor lengkap dengan tukang ojeknya.

“Silakan naik dok.” Kata keluarga pasien tersebut

“ Trus ibu naik apa? “ tanyaku dengan penuh kebingungan

“ Kita naik bertiga dok.” Jawabnya ringan

“ Enggaklah bu, saya nggak mau.” Jawabku spontan sambil membayangkan nggak enaknya berada ditengah motor dijepit dua manusia yang sama-sama dewasa juga. Apalagi tukang ojeknya bapak-bapak, lemgkap sudah deh kerisihanku. Dan waktu itu aku masih gadis.

Kusarankan ibu tersebut untuk menunggu saja di rumah dinasku, sementara saya dan bapak tukang ojek yang akan menemui pasien di rumahnya. Oleh tukang ojek saya diberhentikan di tengah persawahan, dag dig dug jantungku, takut saya akan diperlakukan sesuatu olehnya.

“Dokter jalan kaki di pematang sawah ini, lihat disana ada perumahan penduduk.” Demikian tukang ojeng itu memberiku petunjuk.

“ Emangnya nggak ada jalan untuk menuju kesana?”  Tanyaku kebingungan.

“Tidak ada dok, bu dokter jalan saja lewat pematang sawah ini, ya udah mari saya antar.” tegasnya sambil menunjukkan pematang sawah yang harus kulalui.

Akhirnya dengan agak galau saya berjalan sambil bawa seperangkat alat kedokeran untuk “home visit”,  saya amati suasana sekitar, yamg tampak hanya bentangan sawah, sementara di depanku ada semacam gugusan pulau. Dan motor kami tinggalkan begitu saja dibelakang kami.

“Blug” aku terjatuh dan kakiku kecebur disawah. Pelan-pelan aku bangun dibantu tukang ojek lalu meneruskan perjalanan.  Sesampainya di “pulau” tersebut saya melihat ada puluhan rumah lengkap dengan penghuninya. Kemudian aku ditunjukkan rumah bapak yang sedang sakit yang membutuhkan pertolongan.

Selesai memeriksa saya kembali berjalan pulang, di tengah jalan saya dicegat penduduk, rupanya  ada beberpa penduduk yang ingin sekalian ikut periksa. Maka kulayanilah para pasien penduduk “pulau ditengah sawah” tersebut.

Inilah potret indonesia,didaerah fasilitasnya bisa ketinggalan ratusan tahun dibandingkan kota besar dengan segala hingar bingar hiburan dan arogansi pembangunan gedungnya  yang seolah menantang langit.

Kejadian tersebut terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu. Saya adalah dokter PNS yang ditempatkan diwilayah tersebut yang minim fasilitas. Rumah dinasnya hampir rubuh, catnya juga kusam. Kamar mandinya terkadang airnya mati.  Tidak pula disediakan perabotan rumah.

Beruntung saya sudah punya tabungan dari hasil kerja saya  sebelumya (sebelum bertugas menjadi PNS), sehingga saya bisa merehab rumah secara kecil-kecilan agar lebih nyaman ditempati, juga membeli perabotan rumah dengan uang sendiri.

Saya disitu diamanahi tugas sebagai Kepala Puskesmas, namun karena saya satu-satunya dokter disitu maka saya selain melaksanakan tugas manajeman juga mengerjakan tugas pelayanan, bahkan terakdang saya juga harus menolong persalinan sebab jumlah bidannya juga terbatas.

Akan tetapi perhatian pemerintah terhadap dokter yang bertugas di wilayah seperti itu kurang mendapat perhatian khusus. Gajinyapun sama persis dengan yang ditempatkan di kota. Dan itulah salah satu faktor kenapa didaerah terpencil kekurangan dokter.

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama