by CTS 31’s Family

Bagi sebagian kita, 22 Desember adalah momen penting karena pada hari itu diperingati sebagai hari ibu. Mengingat besarnya jasa ibu, tak urung kita membuat “surprise” untuk mereka dengan menyiapkan hadiah yang spesial.

Bahkan organisasi-organisasi massa, LSM, kelompok-kelompok pengajian, sekolah-sekolah, membuat beragam acara besar untuk memperingatinya, baik dengan lomba-lomba, seminar, workshop, talk show hingga pemilihan ibu teladan. Itu semua dilakukan, karena sosok ibu memang pantas mendapatkan penghargaan besar karena pengorbanannya yang luar biasa.

Menengok bagaimana sosok ibu saat ini, ada beberapa kasus yang terkadang membuat kita kecewa dan bersedih. Ingatkah kita, beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu? Tahun 2007, pernah diberitakan di media massa seorang ibu berjilbab di Bandung yang membunuh ketiga anaknya karena alasan ekonomi. Di Malang, seorang ibu dari etnis tionghoa juga membunuh dua anaknya dengan minuman beracun. Motifnya tidak lain karena kesulitan ekonomi.

Kecuali dua contoh di atas yang berlatar-belakang karena tekanan ekonomi, masih banyak kasus contoh kekerasan seorang ibu ke anaknya karena sebab lain seperti ketidakcocokan dengan pasangan, keluarga yang tidak harmonis, dll.

Akhir-akhir ini juga banyak kasus para ibu menjadi pengedar narkoba, karena motif ekonomi pula. Sungguh memilukan, seakan-akan perayaan Hari Ibu tidak bermakna apa-apa.

Amanah Suci

Mengemban amanah sebagai ibu bukanlah hal mudah, karena menuntut tanggung jawab yang luar biasa besar. Oleh karena itu dibutuhkan “hati yang besar pula” untuk memanggul amanah itu.

Tanggung jawab itu tidak hanya menyangkut urusan domestik (pekerjaan rutin kerumahtanggaan) saja, melainkan menyangkut pula urusan masa depan anak. Maka, sangat disayangkan jika perkara ekonomi membuat seorang ibu kehilangan akal sehatnya, tega melenyapkan anak–anak yang memiliki masa depan.

Saya teringat kisah Siti Hajar. Beliau adalah istri Nabi Ibrahim dan berputra Ismail. Nabi Ibrahim begitu mencintai mereka berdua. Tetapi, Allah memerintah Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan Ismail hijrah ke Mekkah. Pada saat itu kota Mekkah tidaklah seindah sekarang. Kondisi kota itu sama sekali “tidak menjanjikan” karena yang ada hanyalah padang pasir di mana-mana, tidak ada tanaman, tidak ada sumber air dan tidak berpenghuni seorang manusiapun.

Tapi, karena perintah Allah, Nabi Ibrahim lalu harus segera meninggalkan dua orang yang dicintainya itu. Nabi Ibrahim berdoa dan tawakkal kepada Allah. Dia yakin, karena Allah yang memerintahkan maka pasti Allah pula yang akan menjaga Siti Hajar dan Ismail.

Setelah beberapa hari ditinggal Ibrahim, bekal makanan dan minuman habis. Ismail kecil terus menangis karena air susu ibunya tidak keluar. Dengan ketawakkalannya Siti Hajar mencari-cari makanan dan minuman. Dia berlari-lari dari bukit Shafa ke Marwah -dan sebaliknya- berulang-ulang.

Akhirnya, Allah menolong lewat hentakan kaki Ismail (yang sedang menangis), dengan munculnya pancaran air, yang di kemudian hari dikenal sebagai mata air zam-zam. Siti Hajar sangat bersyukur kepada Allah, dan sejak saat itu lembah gersang tersebut berkembang menjadi sebuah pemukiman (Kota Mekkah).

Kisah di atas tentu kita sudah tahu. Di dalamnya memiliki pelajaran penting, terutama bagi seorang ibu. Ketaatan Siti Hajar kepada Allah membuahkan sikap tawakkal yang luar biasa dan lalu melahirkan sikap optimistis yang besar sekalipun ‘dikurung’ dengan berbagai keterbatasan.

Tiadanya suami sebagai pendamping, tidak membuat Siti Hajar berputus asa dalam mengasuh dan mendidik putranya. Dia sosok ibu yang sukses dalam mendidik putranya. Kesuksesannya itu dibuktikan dengan ketaatan putranya kepada ayahnya ketika turun perintah Allah untuk mengorbankannya. Menyikapi perintah seperti itu Siti Hajar dan putranya tidak ragu dan bersegera menyambut perintah tersebut dengan taat dan tawakkal.

Kalau bukan karena tarbiyah (pembinaan) yang baik, yang diberikan Siti Hajar kepada Ismail, pastilah putranya itu menolak untuk dikurbankan. Pelajaran lain adalah besarnya aspek keikhlasan dan pengorbanan. Tanpa keikhlasan, tak mungkin Siti Hajar mau ditinggalkan di lembah yang sunyi tanpa bekal makanan yang cukup seorang diri dan dengan seorang bayi (Ismail). Tanpa pengorbanan, tak mungkin Siti Hajar mampu mendidik seorang putra yang memiliki ketaatan yang teruji.

Sang ‘Arsitek’

Duhai kaum Ibu, kita mungkin belum memiliki iman se-level istri Nabi. Tetapi, bukan berarti kita tidak bisa menjadi sosok seperti Siti Hajar. Janganlah karena kita bukan istri Nabi, lalu kita jadikan sandaran berapologi atas berbagai kesalahan yang kita lakukan. Sebab, sejatinya, petunjuk di Al-Qur’an dimaksudkan sebagai hikmah bagi siapapun.

Saat ini, kita perlu mengembalikan paradigma tentang peran ibu. Bahwa menjadi ibu tak sekadar melahirkan dan lalu selesai. Menjadi ibu mensyaratkan didimilikinya kesadaran penuh untuk membekali diri sebaik-baiknya dalam rangka mendidik anak-anaknya. Dalam konteks ini, harus ada bobot spiritual dan intelektual lebih dari cukup yang harus dimiliki seorang ibu untuk mendidik anaknya.

Duhai Ibu, engkau adalah guru pertama dan utama bagi bagi anak-anak tercinta. Ibu adalah ‘pos’ terdekat tempat anak bertanya, mengadu, dan meminta perlindungan.

Duhai Ibu, mari kita ciptakan ‘surga’ di rumah kita, -antara lain- dengan mendidik anak-anak kita dengan kekuatan cinta. Bukankah -sejatinya- masa depan anak-anak ada di tangan seorang ibu?

Duhai Ibu, posisi engkau mulia. Maka, jika Allah menguji engkau –misal lewat kesulitan ekonomi- itu tak boleh kita jadikan alasan untuk kehilangan hati nurani sebagai seorang ibu, arsitek masa depan anak.

“Selamat berjuang, Ibu! “

1 KOMENTAR

  1. Macacih?? Bapak jga dong. Tanpa figur ayah, pertumbuhan kejiwaan anak jg kurang optimal. Dua2nya saling mengisi, berbagi peran meng”arsitek”i anak menjadi manusia berguna bagi agama, bgsa dan negara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama