MENU

Pilkada Serentak 2018, Didominasi Pengusaha

JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Hasil kajian yang dilakukan lembaga The Indonesian Institute (TII) menunjukkan bahwa calon kepala daerah yang berasal dari kalangan swasta atau pengusaha mendominasi Pilkada serentak 2018.

“Pada Pilkada 2018 kali ini, kandidat yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha mendominasi latar pekerjaan dari berbagai macam latar pekerjaan seluruh calon kepala daerah,” ujar peneliti bidang politik The Indonesian Institute Fadel Basrianto di Jakarta, Selasa (26/6).

Fadel mengatakan calon kepala daerah yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha, sebanyak 44, 89 persen. Angka ini tidak cukup berubah jika dibandingkan dengan Pilkada 2017.

Pada Pilkada 2017, sebanyak 50 persen dari total 310 calon kepala daerah berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha, sisanya berlatar belakang sebagai petahana PNS, anggota DPR/DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota, anggota DPRD, Pejabat BUMN/BUMD, anggota TNI/Polri, dan perangkat serta kepala desa.

Dia mengatakan walaupun persentase kandidat yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha menurun, akan tetapi penurunan tersebut tidak memiliki arti yang signifikan. Hal ini dikarenakan calon kepala daerah yang berlatar belakang sebagai petahana mengalami peningkatan.

Pada Pilkada 2017, jumlah persentase petahana sebesar 16,61 persen, sedangkan pada Pilkada 2018, partisipasi petahana meningkat menjadi 19,49 persen.

Dari data tersebut, Fadel menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia masih berbiaya tinggi, karena mayoritas calon yang maju adalah yang memiliki modal besar sebagai pengusaha.

Partai politik sendiri dalam Pilkada 2018 ini, kata Fadel, memiliki kecenderungan untuk lebih memberikan rekomendasi dukungan kepada petahana dengan pertimbangan potensi kemenangan yang lebih tinggi karena tingkat popularitas dan elektabilitas petahana yang tinggi.

“Partai politik tidak ingin mengambil risiko yang tinggi. Jika partai politik tidak mengajukan kandidat yang berpotensi menang, maka risiko mereka kehilangan suara untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 akan membesar,” jelas Fadel.

Oleh karena itu, menurut dia, opsi yang dipilih oleh partai politik hanya ada dua yakni mendukung kandidat yang memiliki modal besar atau kandidat yang telah memiliki modal popularitas yang tinggi seperti yang dimiliki oleh petahana.

Implikasinya, aktor-aktor yang dapat mengakses menjadi calon kepala daerah menjadi lebih ekslusif di mana orang yang dapat menjadi calon kepala daerah haruslah orang yang memiliki modal yang besar atau tingkat popularitas yang tinggi.

“Salah satu contohnya ialah pencalonan kembali Ganjar Pranowo sebagai calon Gubernur Jawa Tengah. Ganjar dinilai memiliki popularitas yang meyakinkan untuk memenangkan kembali Pilgub Jawa Tengah. Menurut Survei SMRC pada 23-30 Mei lalu, Ganjar Pranowo Taj-Yasin memperoleh dukungan sebesar 70,1 persen responden,” ujar dia.

Di tempat yang lain, dia mencontohkan, Cagub Sulawesi Selatan Nurdin Halid dan Cawagub Sumatera Utara Shihar Sitorus juga menunjukkan bahwa partai politik memberikan rekomendasi kepada kandidat yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi, sebab kedua nama itu ditengarai memiliki kekayaan yang besar jika mengacu pada harta kekayaan yang dilaporkan.

“Dengan demikian, demokrasi yang kita jalankan saat ini masih belum se-ideal demokrasi inklusif yang kita dambakan,” jelasnya.

Fadel menjelaskan, kajian yang dilakukan TII bertujuan untuk berkontribusi dalam memperkaya kajian kebijakan tentang Pilkada di Indonesia. Kajian Pilkada 2018 ini dilihat dari aspek politik, ekonomi, maupun sosial.

Rencananya temuan lain atas kajian TII ini akan dipaparkan kepada publik secara lengkap dalam beberapa waktu kedepan. (Ant/Su02)

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER