janji jokowi
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (kiri) dan Wakil Gubernur, Sandiaga Uno (foto: Twitter Sandiuno)

SERUJI.CO.ID – Pilkada DKI Jakarta 2017 memang telah usai, namun diskursus publik yang menyertainya tidak serta merta berhenti dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru. Salah satu topik yang masih relevan untuk dibicarakan saat ini adalah mengenai kontras gaya kepemimpinan dan model pengelolaan Jakarta dibawah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dibandingkan pendahulunya.

Anies Baswedan pernah melontarkan gagasannya terkait pendekatan dalam menata Jakarta. Sebagaimana diberitakan di laman web salah satu koran nasional beberapa waktu lalu, Anies mengkritik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menurutnya melupakan pendekatan gerakan dalam membangun Jakarta selama ini dan terlalu mengedepankan pola relasi pelayan – konsumen dimana pemerintah memposisikan dirinya sebagai pelayan dan warga sebagai konsumen atau customer. Pola seperti ini, menurut sang Gubernur, minim semangat pemberdayaan masyarakat dan kurang selaras dengan nilai dan semangat gotong royong yang seharusnya menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Apa yang disampaikan oleh Anies berbalas kritik pedas dari warga, khususnya para netizen. Gagasan terkait tata kelola pemerintahan berbasis pergerakan tersebut dinilai menyalahi kodrat hubungan pemerintah – warga dimana warga sebagai pembayar pajak sudah semestinya mendapat pelayanan terbaik dari pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum. Menurut pandangan ini, wajar bila warga kemudian memposisikan dirinya sebagai customer atau konsumen dari servis yang diberikan oleh pemerintah. Adapun kritik yang lain membenturkan pendekatan gerakan dengan filosofi kepemimpinan servant leadership yang istilahnya ditelurkan oleh Robert Greenleaf (1970) dan bahkan memvonis Anies sebagai sosok yang tidak memahami UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Apakah benar demikian halnya? Sebelum kita menjatuhkan vonis lebih lanjut, ada baiknya kita mengupas pandangan-pandangan yang beredar dalam koridor keilmuan sehingga diskursus yang terjadi dapat berbuah pada perbaikan dan peningkatan tata kelola pemerintahan di Indonesia, khususnya Jakarta yang kita cintai.

Resep Kuno ‘New Public Management’

Sebagai warga masyarakat – terlebih lagi sebagai pembayar pajak yang taat –lumrah halnya bila kita menaruh ekspektasi yang besar terhadap layanan yang diberikan oleh pemerintah. Pandangan ini tidak salah. Yang menjadi persoalan adalah: apakah pola hubungan konsumen – pelayan seperti ini yang kita harapkan selalu berlaku dalam setiap penyelenggaraan kegiatan pemerintahan? Apakah kita siap menyerahkan seluruh inisiatif dalam proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan yang menyangkut nasib kita sendiri di tangan pemerintah semata? Jika begitu, dimana letak ke-civil society-an kita?

Pelayanan publik berorientasi konsumen (customer-oriented public service) sejatinya dapat dianggap warisan dari gelombang reformasi administrasi publik dibawah label New Public Management (NPM) yang bergulir deras di tahun 1970-1980an, utamanya di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara OECD lainnya, bersamaan dengan dengan arus privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi yang mengemuka sebagai arus utama kebijakan di negara-negara tersebut. Sebagai sebuah pendekatan yang lekat dengan mazhab neo-liberal (Pierre & Rothstein, 2008), NPM berupaya memfusikan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan korporasi ke dalam doktrin administrasi publik. Di Indonesia dan banyak negara berkembang lain, pola-pola NPM diintrodusir sebagai satu paket perubahan struktural yang menyertai pinjaman dari lembaga-lembaga donor internasional, utamanya ketika krisis finansial menerpa di tahun 1997-1998 (Cheung, 2011).

Meskipun NPM telah merevolusi cara pandang dan praktek manajemen publik dalam beberapa dekade ini, hasil penelitian para ahli belakangan menyoroti beberapa kelemahannya. Dalam konteks hubungan pemerintah – warga, pengkonstruksian warga masyarakat sebagai customer menimbulkan permasalahan terkait keselarasan antara layanan yang didapatkan dengan pembayaran atas layanan tersebut (Pegnato, 1997). Di dunia bisnis, konsumen mendapatkan layanan sesuai dengan harga yang dia bayar. Premium customer yang membayar harga lebih tentu berhak untuk mendapatkan layanan yang jauh lebih baik daripada konsumen biasa. Apakah kemudian pemerintah dapat melakukan hal yang sama dengan mendiskriminasikan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat berdasarkan pajak yang mereka bayar? Jika demikian kasusnya, dapat dibayangkan implikasinya: warga masyarakat miskin sudah pasti akan selalu mendapat layanan terburuk. Inilah dilema customer-oriented public service.

Permasalahan selanjutnya, pada tataran konseptual, pengkonstruksian warga masyarakat sebagai customer merefleksikan pola relasi yang searah dan minim timbal balik. Ruang partisipasi publik menjadi minim dan inisiatif pengambilan keputusan atas kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak menjadi domain pemerintah semata. Dalam dunia privat, hal tersebut dapat dimahfumkan karena konsumen memang tidak dapat secara langsung terlibat dalam menentukan produk/jasa yang akan disediakan oleh produsen melainkan memilih dari sekian banyak produk yang ada di pasaran. Namun di alam demokrasi deliberatif ini menjadi problematik. Maka sudah seharusnya dikaji pola-pola hubungan baru yang tidak mereduksi peran serta warga dalam pembangunan dan lebih kompatibel dengan konteks demokrasi Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama