SERUJI.CO.ID – Ketika masih menjabat sebagai Ketua BEM Universitas Indonesia, saya beberapa kali terpelanting dari balkon DPR. Harga BBM pun tidak jadi dinaikan pemerintah, sebut saja salah satunya dipengaruhi oleh upaya yang kami galang. #KamiHaluan
Pernah juga, harus adu-adu kuat dengan pasukan pengaman ketika membela nasib pedagang kaki lima yang hendak digusur. Meski mereka tetap digusur, kami pun merasa puas sudah menjadi pembela mereka hingga ke detik akhir. Saat sudah tak banyak yang mendapingi kami, teman-teman wartawan tetap jadi teman seiring sejalan.
Semua peristiwa besar dalam perjalanan aktivis saya tidak lepas dari peran penting teman-teman media. Kami makan di meja yang sama di kantin kampus UI. Menghabiskan waktu bertukar gagasan. Tugas kami sama, yakni sama-sama penjaga kepentingan publik.
Media adalah pilar demokrasi. Peran penting media setara dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga peradilan, legislatif, maupun eksekutif. Media adalah mitra kritis pemerintah dalam berdemokrasi. Jika salah satu tidak bekerja dengan baik, maka ekosistem politik pasti akan terganggu.
Jika ada sengketa di antara pilar demokrasi, jelas ada metodenya masing-masing untuk menyelsaikan persoalan. Untuk silang pendapat media dan pemerintah, penyelesaian di Dewan Pers sudah menjadi kesepakatan di dalam Undang-Undang. Elit harusnya sudah paham aturan main tersebut. Apalagi, pejabat yang pernah duduk di legislatif pastinya lebih paham.
Tindakan Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno yang diduga hendak melaporkan media Harian Haluan ke Polda Sumatera Barat, dapat bermakna banyak. Pertama, Gubernur tidak paham mengenai konsep pilar demokrasi. Kedua, tidak ada pakar hukum mumpuni memberikan brief kepada Gubernur sebelum mengambil tindakan tersebut. Entah siapa pembisik Gubernur hingga tega membiarkan orang nomor satu di Sumbar mengambil langkah yang sangat konyol tersebut.
Ya, melaporkan media ke polisi adalah sebuah langkah yang sangat konyol. Dengan atribut Prof. di depan nama, gubernur harusnya lebih mengedepankan aspek argumentasi. Tentunya, itu adalah tanggung jawab akademik untuk memberikan pendidikan politik kepada media.
Tidak pernah sekali pun tim Gubernur mengambil hak jawabnya untuk membela diri. Padahal, langkah tersebut sangat mungkin. Setiap ada berita yang menyudutkan, minta hak jawab. Muncul berita yang tidak beralasan lagi, minta lagi hak jawab. Media juga tidak mau satu halamannya diminta terus-terusan untuk hak jawab. Secara ruang iklan, itu tentu sangat merugikan mereka. Saya curiga tidak ada yang mampu menuliskan hak jawab yang berkualitas dalam tim inti Gubernur.