Dalam epistemologi hukum Islam, wajib atau tidak wajibnya suatu hukum tidaklah dilihat dari segi apakah sistem bakunya ada atau tidak ada, tetapi dilihat apakah amr (perintah) atau thalabul fi’li (tuntutan untuk berbuat) yang terdapat dalam suatu dalil (ayat Al Qur`an atau Hadits), apakah disertai indikasi (qariinah) yang menunjukkan kewajiban atau tidak.
Jika amr atau thalabul fi’li yang ada disertai dengan qariinah (indikasi) yang menunjukkan wajib, misalnya ada kecaman atau celaan yang keras bagi yang meninggalkannya, berarti amr atau thalabul fi’li itu statusnya wajib. Jika tidak ada kecaman yang keras, status amr itu mungkin bisa sunnah atau mubah, bergantung pada qariinah-nya. (Taqiyuddin An Nabhani. Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/39).
Sebagai contoh, ayat Al Qur`an menunjukkan ada amr atau thalabul fi’li untuk melakukan sholat, ”Aqiimush sholaata wa aatuz zakaata warka’uu maa’r raaki’iin” yang berarti, ”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'” (QS Al Baqarah [2] : 43).
Ternyata amr untuk melakukan sholat ini disertai qariinah (indikasi petunjuk) berupa kecaman keras untuk orang yang meninggalkan sholat, yang berarti sholat itu wajib hukumnya.
Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi, ”Maa salakakum fii saqar, qaaluu lam naku minal musholliin,” yang artinya,”(Malaikat penjaga neraka bertanya),’
Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).
Inilah cara penalaran yang benar dalam proses istinbath hukum, yakni dengan menggunakan pendekatan ushul fiqih. Jadi, suatu hukum berstatus wajib atau tidak wajib, dilihat oleh seorang mujtahid dari segi amr yang ada, kemudian dilihat qariinah-qariinah yang ada, lalu ditarik kesimpulan hukum syara’-nya.
Penalaran tersebut sangat berbeda dengan pendekatan manthiq (logika) yang semestinya tidak digunakan dalam hukum Islam.



