Sebagai contoh, dalam persoalan apakah Al Qur`an itu makhluk atau kalamullah, bisa jadi seseorang berargumen begini, premis mayor : Al Qur`an itu adalah kalamullah. Premis minornya : kalamullah itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Kesimpulannya, Al Quran itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk).
Pada saat yang sama, orang lain dapat pula menggunakan cara penalaran logika yang sama, tapi kesimpulannya dapat sangat bertolak belakang. Premis mayornya: Al Qur`an itu berbahasa Arab. Premis minornya : bahasa Arab itu sesuatu yang baru (hadits). Kesimpulannya, Al Qur`an adalah sesuatu yang baru (hadits) alias makhluk. (Taqiyuddin An Nabhani, At Tafkiir, hlm. 13-14).
Kembali pada logika yang digunakan Prof. Mahfud MD. Nampak jelas bahwa logika yang digunakan Prof. Mahduf MD ternyata menggunakan premis yang salah, yaitu premis mayornya yang berbunyi : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Inilah sumber masalahnya.
Premis ini sudah dijelaskan kecacatannya di atas. Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib?
Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan?
Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?



