Dari contoh di atas, jelaslah bahwa sistem khilafah yang baku, memang tidak ada. Prof. Mahfud MD dalam hal ini benar. Karena faktanya memang terdapat beberapa versi pendapat dalam cabang-cabang hukum dalam pembahasan khilafah.

Tapi pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i?

Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?

Sesungguhnya, jika penalaran Prof. Mahfud MD tentang “sistem yang baku” itu diikuti, niscaya akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam ajaran Islam. Karena adanya khilafiyah tentu tidak hanya ada dalam pembahasan khilafah, tapi juga ada dalam pembahasan bab-bab fiqih yang lain, seperti wudhu, sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam wudhu, misalnya ada perbedaan pendapat ulama mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak.

Mengikuti logika Prof. Mahfud MD, berarti wudhu itu tidak baku.

Dalam sholat Shubuh, ada yang membaca Qunut ada yang tidak. Artinya, menurut logika Prof. Mahfud MD, sholat Shubuh tidak baku.

Dalam puasa Ramadhan, Imam Malik mencukupkan niat satu kali untuk seluruh bulan Ramadhan, sementara jumhur ulama mewajibkan niat untuk setiap hari pada bulan Ramadhan. Maka mengikuti penalaran Prof. Mahfud MD, puasa Ramadhan tidak baku.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama