Dengan demikian, mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya), jika dalam sistem khilafah terdapat suatu hukum atau opini yang tidak standar, atau tidak disepakati, yakni terdapat khilafiyah alias beberapa versi hukum atau opini dalam sistem khilafah, maka sistem khilafah itu dikatakan tidak baku.
Jika memang benar demikian yang dimaksud Prof. Mahfud MD dengan istilah “sistem baku khilafah”, maka memang benar seperti yang disimpulkan sendiri oleh Prof. Mahfud MD, bahwa sistem khilafah yang baku ”…tidak pernah ada, tuh”. Sebab siapapun yang mengkaji fiqih khilafah secara detail, pasti akan menjumpai banyak hukum atau opini yang khilafiyah alias tidak baku.
Sebagai contoh, persyaratan seorang khalifah apakah dia harus orang Quraisy atau tidak, ada khilafiyah di sini. Jumhur ulama mewajibkan khalifah harus orang Quraisy. Sementara sebagian ulama, seperti Qadhi Abu Bakar Al Baqilani, Ibnu Khaldun, dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, tidak mewajibkan khalifah dari suku Quraisy. Identitas Quraisy bagi khalifah hanya dianggap sebagai keutamaan (afdhaliyah) saja, bukan kewajiban.
(Lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun, III/527; Fathul Bari, XVI/237).
Contoh lain, persoalan apakah khilafah harus tunggal (satu) untuk seluruh dunia atau tidak, yaitu boleh berbilang (ta’addud) alias lebih dari satu, juga ada khilafiyah di sini sehingga tidak baku. Ada dua versi pendapat ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama seperti imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, mewajibkan khilafah yang tunggal untuk seluruh dunia. Sementara sebagian ulama, seperti Imam Abu Ishaq Al Isfarayini, Abdul Qahir Al Baghdadi, dan Imam Al Haramain (Al Juwaini) berpendapat boleh-boleh saja ada lebih dari satu khilafah untuk seluruh dunia.
(Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al ‘Ilmiyah, 1980, hlm. 314).



