MENU

Iedul Qurban dan Tugas Demokratik

|

Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya


Allahu akbar 2x, Laa ilaaha illa Allah,
Allahu akbar 2x, wa lillahil hamd !!!!!!

Kita merayakan Iedul Qurban tahun ini hanya seminggu setelah merayakan Proklamasi Kemerdekaan negeri ini. Selama setahun ini kita mempraktekkan sebuah proses demokrasi sebagai bagian dari agenda 20 tahun reformasi. Ada baiknya saat kita merayakan Iedul Qurban ini kita memeriksa kembali praktek demokrasi ini. Ada gejala yang makin nyata bahwa gerakan reformasi telah menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, makin menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Demokrasi berarti satu praktek berkehidupan bersama yang menjunjung kedaulatan rakyat. Bagi muslim Indonesia, konsep kedaulatan rakyat ini problematik. Pertama, bagi muslim hanya kedaulatan Allah yang bisa diterima. Alhamdulillah problem ini diselesaikan oleh perumus Pembukaan UUD45 dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, muslim Indonesia hanya bisa menerima kedaulatan rakyat yang berketuhanan. Muslim Indonesia tidak bisa menerima praktek demokrasi yang merendahkan Islam. Bagi muslim sejati, Islam bukan sekedar identitas, tapi sebuah ekspresi iman.

Kedua, semula, demokrasi tidak mengandaikan negara-bangsa. Cukup sebuah metropolis kecil seperti Athena atau Roma dengan masyarakat yang relatif homogen secara primordial. Padahal, Indonesia adalah negara dengan ratusan suku dan bahasa serta beragam agama dan kepercayaan dalam sebuah kawasan seluas Eropa.

Konsep negara-bangsa (nation state) lahir menjelang akhir zaman kolonialisme di abad 20. Konsep ini dimatangkan oleh dua perang dunia dan akhir kekhalifahan Turki Ottoman. Boleh dikatakan bahwa tiada negara saat ini yang bukan negara-bangsa. Anggota bangsa atau rakyat itu menyepakati sebuah satuan wilayah, dan satuan politik yang disebut negara. Bangsa, satuan wilayah dan satuan politik itu dinyatakan dalam konstitusi negara-bangsa tersebut sebagai sebuah perjanjian berat antar kelompok anggota bangsa tersebut. Rakyat itu kemudian menjadi warga negara-bangsa itu.

Perlu segera diingat bahwa sebuah negara tidak dapat dinyatakan merdeka jika tidak memiliki konstitusi sendiri sebagai sebuah pernyataan kehendak bersama rakyatnya.

Penting dicermati bahwa bangsa berbeda dengan suku yang bersifat primordial-biologis. Bangsa adalah sebuah state of mind, sebuah fiksi, sebuah imajinasi, bahkan sebuah imagined community. Dengan demikian sebuah negara-bangsa adalah sebuah narasi kreatif yang tidak pernah final in factu, tapi senantiasa bergerak menjadi, in statu nascendi.

Bangsa Indonesia adalah satuan dinamis. Bahkan lempeng-lempeng bumi Nusantara senantiasa bergerak membentuk formasi dan kesetimbangan baru yang telah menimbulkan kegempaan di mana-mana. Mengatakan NKRI harga mati adalah menyamakan bangsa dengan batu; sebuah pernyataan dungu, jika bukan menyesatkan dan berbahaya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

Daniel Mohammad Rosyid
Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS Surabaya, Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik.
spot_img
Guru Besar ITS Surabaya, Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik.

TERPOPULER

Selesai ?

Membangun Kembali Budaya Bahari

Ramadhan dan Deschooling Indonesia

Refleksi Akhir Tahun Pendidikan

spot_img