Dalil ujaran kebencian yang kerap digunakan polisi secara serampangan berpotensi menimbulkan persepsi negatif kepada pemerintah. Seakan-akan pemerintah melalui polisi sedang membungkam kritik dan kelompok anti pemerintah. Dari sinilah kemudian masyarakat merasa tindakan mereka sebagai bagian dari heroisme sikap kritis kepada pemerintah.

Getolnya polisi menggunakan dalil ujaran kebencian untuk menjerat penyebar hoax tidak lepas dari Surat Edan Badrodin Haiti saat masih menjabat sebagai kapolri. Dalam surat SE/6/X/2015 tentang Penangan Ujaran Kebencian (hate speech) poin 2 huruf f dinyatakan unsur pencemaran nama baik dapat juga dikategorikan sebagai tindak pidana ujaran kebencian.

Padahal, seharusnya pencemaran nama baik dipisahkan dari ujaran kebencian karena dalam UU ITE pun aturan itu sudah dipisahkan pasalnya. Pasal 27 ayat (3) untuk pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) untuk ujaran kebencian.

Dalam kasus dugaan ujaran kebencian dan SARA, ustadz Zulkifli Muhammad Ali akhirnya dibebaskan polisi. Terkait materi pemeriksaannya, ustadz Zulkifli mengaku hanya menjelaskan kepada penyidik apa yang dikatakan dalam video ceramahnya. Ustadz Zulkifli menekankan isi ceramahnya sesuai dengan hadist yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.

“Tidak lepas dari hadist Nabi tentang akhir zaman di mana di muka bumi ini merata kekacauan dan itu mulai kita rasakan ketika Rasul mengatakan saat Arab Saudi berlomba memperebutkan kekuasaan,” urainya. Oleh sebab itu, lanjut Zulkifli, isi ceramahnya yang mengatakan di Indonesia juga akan terjadi kekacauan juga mengacu kepada hadist tersebut.

Belajar dari kasus Ustadz Zulkifli, Hal ini membuktikan bahwa polisi sudah banyak memahami isi dari kandungan UU ITE. Momen ini bisa dijadikan ajang bagi pembuat peraturan atau undang-undang yaitu UU ITE Nomor 19/2016 untuk direvisi agar tidak menimbulkan kerancuan dengan surat edaran kapolri. Poin UU ITE tidak efektif karena seringkali masih keliru campur aduk antara penghinaan seseorang dan ujaran kebencian.

Selama kerancuan (borok) masih ada, kekacauan pasti terjadi. Revisi itu memang memperbaiki, tapi tidak menghilangkan boroknyaMemang susah kalau revisi dilakukan setengah-setangah, sebaiknya semuanya (UU ITE) direvisi.

Seharusnya pencemaran nama baik dipisahkan dari ujaran kebencian karena dalam UU ITE pun aturan itu sudah dipisahkan pasalnya. Pasal 27 ayat (3) untuk pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) untuk ujaran kebencian.

Dalam revisi UU ITE Nomor 19/2016, apa saja unsur yang termasuk pencemaran nama baik sudah dipertegas, tetapi dengan adanya surat edaran Kapolri tersebut, tetap saja ada bias yang terjadi pada penegakan hukum terkait ITE.

Jika ada kemauan dari para pemangku kebijakan revisi UU ETI pasti bisa dilakukan secepatnya agar kedamaian di negara kita tercinta ini semakin meluas, bukan hanya di desa-desa, kampung-kampung yang merasa damai tetapi rasa damai juga bisa terwujud di Perkotaan.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik nomor 19 tahun 2016 sekarang terlalu mengontrol masyarakat. Padahal masyarakat sangat cinta dengan negaranya. Semoga tidak terjadi lagi penangkapan terhadap para Ulama, Ustadz dan pemikir yang mengkritisi pemerintah, karena rakyat yang kritis terhadap pemerintah adalah wujud kecintaanya pada negaranya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama