Mendengar kata “buih” langsung teringat akan buih di sungai atau buih di lautan, jumlahnya luar biasa banyaknya akan tetapi mengikuti kemana arus air bahkan buih itu kadang terpecah dan menyebar ke segala arah tak jelas. Begitu mudah diombang-ambingkan oleh arus air yang kadang deras dan kadang pelan.
Begitulah kondisi umat Islam saat ini yang kami amati. Perbedaan pandangan politik atau bahkan perbedaan pilihan dalam pemilihan seorang kepala negara atau daerah membuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah menjadi terkoyak. Jangankan untuk tersenyum kepada saudara sesama muslim, terkadang untuk mengucapkan salam terasa enggan. Bahkan ada ungkapan dalam media sosial “Cobalah kasih like pada status orang yang saudaramu benci, maka itulah jadi ujian persaudaraanmu”.
Terkadang saya juga termenung dan berpikir kenapa partai-partai yang mayoritas didukung oleh umat muslim tidak menyamakan persepsi atau bergabung bersama. Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergabung dalam suatu koalisi untuk kemaslahatan umat Islam tentunya akan menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan. Dalam suasana tahun politik seperti saat ini, partai berbasis Islam seakan seperti “tempelan” pada partai yang berbasis nasionalis. Hal ini berakibat pada saling menyerang antara pendukung partai yang berseberangan dalam pilihan politiknya, sesama muslim tetapi saling berseberangan dan akhirnya saling menyerang.
Hal ini terkadang diperkeruh oleh tindakan beberapa “oknum” yang sengaja membenturkan antara sesama ormas Islam. Memberikan wacana ataupun asumsi yang menimbulkan kegelisahan antar umat Islam. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh pada ketenangan peribadatan umat Islam yang terkadang seperti diadu domba dengan umat Islam lainnya.
Apakah mereka itu lupa akan peringatan dari Allah Swt :
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (11) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (12)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” (QS al Qalam:10-12).
Bahkan terkadang kita begitu mudah menyebarkan berita yang belum tentu jelas kebenarannya tentang seseorang. Hanya dikarenakan kebencian kita kepada orang yang didalam berita tersebut.
Ingatlah akan riwayat hadits berikut :
عَنْ هَمَّامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى عُثْمَانَ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ »
Dari Hammam, Kami sedang duduk-duduk bersama Hudzaifah lalu ada yang berkata kepada Hudzaifah, “Sungguh ada orang yang melaporkan perkataan orang lain kepada Khalifah Utsman”. Hudzaifah lantas berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qattat itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari no 5709 dan Muslim no 304)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ ».
Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia” (HR Muslim no 6802)
Namam adalah orang yang mendengar langsung sebuah berita kemudian menyampaikannya. Sedangkan qattat adalah orang yang mendengar berita dari sumber yang tidak jelas kemudian menyampaikannya.
Begitu jelas bagaimana Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw memberikan batasan-batasan kepada kita sebagai umat, agar kita menjadi manusia yang kuat di dunia ini. Bukan hanya sekedar buih, yang hanya menghiasi atau meramaikan kemudian menghilang tanpa bekas. Dan akan lebih menyedihkan lagi jika umat Islam sebagai mayoritas dinegara ini, hanya dijadikan sebagai kendaraan atau alat untuk memperoleh syahwat kekuasaan atau dunia dari orang-orang yang sebenarnya tidak peduli atau pura-pura peduli terhadap umat Islam.
Jangan sampai umat Islam menjadi korban dari fitnah atau bahkan penyebar fitnah hanya dikarenakan urusan dunia semata.
Firman Allah Swt :
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-‘Ankabut: 64)
Firman Allah dalam Surat Al-Hadid ayat ke-20:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Adapun diantara cara untuk menjaga diri dari fitnah dan menyebar fitnah sebagai berikut:
- Tidak langsung menerima ucapan orang itu karena tukang adu domba adalah orang fasik yang omongannya tidak boleh dipercaya.
-
Melarangnya melakukan perbuatan tersebut, memberikan nasehat dan mencela perbuatannya.
- Membencinya karena Allah. Hal ini disebabkan dia adalah orang yang Allah benci. Sedangkan membenci orang yang Allah benci adalah suatu kewajiban.
- Tidak berburuk sangka kepada si A.
- Tidak boleh memata-matai dan mencari-cari kebenaran berita yang baru saja dia terima.
- Namimah yang dia dengar tidak boleh menyebabkannya membalas dengan namimah pula. Dia tidak rela dengan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba itu. Karenanya seharusnya dia tidak menceritakan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba tersebut. Misalnya dengan mengatakan, “Si B bercerita bahwa si A berkata demikian dan demikian”. Jika hal ini dia lakukan berarti dia juga menjadi tukang adu domba dan sama saja melakukan perkara yang dia larang sendiri.
Marilah sebagai Umat Islam agar terus berjuang meningkatkan ukhuwah Islamiyahnya dan insaniyahnya agar tercipta masyarakat yang tentram dan damai. Kenyamanan dalam beribadah tentunya akan tercipta. Hubungan secara vertikal terhadap Allah dan horisontal kepada sesama manusia akan semakin baik.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan rahmat Nya kepada kita semua.
Aamiin.