Suami yang Bertanggungjawab
Sore itu, saya sedang nemeni anak bermain sambil baca-baca SERUJI . Terdengar suara motor memasuki halaman rumah, sesaat kemudian seorang bapak-bapak bicara dengan volume yang luar biasa kencang.
“ kulonuwuuun”, teriaknya.
Mungkin bapak itu teriak keras karena pintu rumahku sedang dalam kondisi tertutup. Saya meminta tolong yang bantu bersih-bersih rumah agar dilihat siapa gerangan orang itu.
“itu pasien mau periksa bu,” kata rekan kerja rumah tanggaku tersebut setelah konfirmasi ke depan.
“Gimana bu, saya persilakan atau suruh nanti kembali kesini?” tanyanya
Entah mengapa saya yang biasanya tidak menerima pasien diluar jam praktek kok sore itu aku menjawab “ ya sudah, bukain sana.”
Saya berjalan ke ruang praktek meskipun dalam hati saya menggerutu “apa dokter tidak boleh istirahat? Sudah tahu pintu masih ditutup nekat teriak-teriak saja.”
Memang hal yang dulu tidak terfikir olehku wktu saya masih kecil dan bercita-cita menjadi dokter adalah bahwa menjalani profesi ini akan dipersepsikan oleh masyarakat bahwa dokter harus siap 24 jam non stop untuk dimintai pertolongan, tak peduli si dokter sedang ngantuk, kelelehan dan lain sebagainya. Memang alasan saya waktu kecil ingin jadi dokter adalah karena profesi ini mulia sekali sebab menolong orang yang sedang sakit.
Setelah menjalani cita-cita masa kecilku ini, baru ku sadari bahwa ternyata sejak di semester pertama bangku kuliah waktuku terlalu banyak dialokasikan disini. Jam 6 pagi disaat mahasiswa fakultas lain masih santai-santai, kami sudah harus sampai di kampus untuk mejalani pretest praktikum. Bila tidak lulus pretest maka tidak boleh ikut praktikum.
Semakin bertambah semester semakin bertambah waktu yang dibutuhkan untuk menggeluti ilimunya, apalagi jika pas koas, kami terkadang harus menjalani proses pendidikan 32 jam nonstop. Namun meskipun begitu sebagai mahasiswa tetap saja saya suka berorganisasi menempa kemampuan berinteraksi secara intelektual dengan kawan-kawan aktifis.
“monggo pak, pinarak tindak mlebet (silakan masuk)” sapaku saat menjumpai pasien itu
“nggih bu, ngapunten ngganngu (maaf mengganggu)”, demikian pasien itu menjawab sapaanku.
Seterusnya kami berbincang menggunakan bahasa jawa krama (bahasa jawa yang dipersepsikan lebih halus dibanding bahasa jawa ngoko).
Kemudian saya melakukan prosedur anamnesa dan pemeriksaan lainnya sesuai standart medis, ditengah pemeriksaan pasien bertanya, “apa saya sakit pikiran ya bu?”
“kenapa bapak berfikir begitu?” timpalku
“Saya kan dirumah sudah 1,5 tahun ini merawat istri saya yang lumpuh, dia tidak bisa ngapa-ngapain, hanya berbaring saja. Tapi suaranya masih “kenceng” bu” tuturnya
Saya hanya menyimak, karena ini menyangkut rumah tangga pasienku maka saya tidak mau banyak terlibat apalagi ikut campur.
“suaranya kenceng, mbentak-mbentak saya terus, apa-apa salah” lanjutnya
Saya masih menyimak…..tidak sedikitpun terbersit keinginanku untuk mengkritik istrinya di depannya, selain karena saya tidak mengerti kejadian sesungguhnya dan yang cerita hanya dari sisi bapaknya, saya tidak ingin menyurutkan kabaikannya yang sudah dilakukan dalam merawat istrinya selama ini.
Kemudian saya bicara “Bapak hebat sekali karena tetap merawat istri dengan kondisi seperti itu, semoga Allah membalasnya nanti di akhirat”
“sebenarnya, saya kuat kalau hanya merawatnya, yang saya nggak kuat itu saya dimaki-maki, dibentak-bentak. Hati saya sakit digitukan” pasien yang sudah berumur 70-an tahun melanjutkan ceritanya.
Saya tetap hanya menyimak sambil menunjukkan mimik empati. Toh dengan hanya menyimak dan memberikan kesempatan bapak itu bercerita sudah bisa mengurangi beban pikirannya.
Setelah pasien tersebut pulang, saya tercenung di meja praktek agak lama, dunia ini memang benar-benar penuh warna. Bapak ini luar biasa tanggung jawabnya sebagai suami, andai dia mau, mudah saja bagi bapak itu untuk meninggalkan istrinya yang dalam kondisi lumpuh, yang hanya bisa berbaring.
Kalaupun tidak meninggalkan cukup dengan cuek tidak usah diurusi makan minumnya iapun bisa lakukan. Namun bukan itu yang jadi pilihannya, dia lebih memilih melanjutkan tugasnya sebagai suami, meski apa yang dilakukannya tidak mendapatkan ucapan terima kasih dari istrinya, bahkan yang didapatkannya malah cacian dan bentakan.
Saya mencoba menerka-nerka permasalahan medis istri bapak tersebut, mungkin ibu tersebut terkena serangan stroke yang mengakibatkan defek di otaknya sehingga otaknya tidak berfungsi normal. Selain defek tersebut menyebabkan gangguan funsi gerak ekstremitasnya sehingga ibu tersebut lumpuh, juga menyebabkan gangguan perilaku. Sehingga perilaku yang ditunjukkan ibu tersebut diluar nalar kemausiaan, sebab sudah dirawat oleh suaminya yang tetap setia disaat ibu tersebut tidak bisa berbuat apa-apa selain berbaring bukannya berterimaksih tepi malah membentak-mbentak. Wallahu a’lam bishawab
#liku2mejapraktek
Mungkin perasaan tidak berdaya, keluarnya jadi marah-marah karena jadi ga bisa apa-apa
Keinget Nabi Ayub