Apakah keadilan sosial di bidang pendidikan sudah dirasakan oleh masyarakat? Bagi masyarakat yang telah mendapatkan hak pendidikan, tentu akan menjawab iya. Tapi, bagi yang belum akan menjawab tidak. Ukuran keadilan sosial adalah semua atau paling tidak hampir semua bisa menjawab positif pertanyaan di atas, berdasarkan parameter yang sahih.

Pemerintah sebagai pemegang regulasi pendidikan sudah berusaha sebaik-baiknya, salah satunya dengan penetapan berbagai standar pendidikan yang bertujuan memberikan layanan secara merata ke semua golongan masyarakat tanpa memandang strata atau daerah. Jikapun masih ada kekurangan, itu sudah wajar dan harus diperbaiki terus menerus.

Yang menjadi pertanyaan, apakah arah dan visi pendidikan sudah benar menuju kepada keadilan sosial di bidang pendidikan? Bukan hanya regulasi dari pusat yang perlu dipertanyakan, namun juga perilaku regulasi dari tingkat daerah otonomi hingga sekolah dan masyarakat. Jika sudah menjadi kultur di masyarakat, akan susah mengubahnya.

Saat ini, di daerah-daerah di Indonesia, sepertinya keadilan sosial di bidang pendidikan masih jauh dari harapan. Buktinya sederhana, selalu ada sekolah favorit dengan guru-guru terbaik dengan berbagai fasilitasnya, berdiri di antara sekolah-sekolah non favorit bahkan ada yang dengan fasilitas ala kadarnya. Itu belum termasuk daerah-daerah terpencil atau terisolasi.

Siapa yang masuk ke sekolah favorit? Yang berprestasi tentu saja. Yang tidak berprestasi? Masuk ke sekolah non favorit. Adil? Jika diukur berdasarkan “visi” seleksi alam atau seleksi pasar, itu adil. Biarlah yang tidak berprestasi semakin terpuruk dengan masuk sekolah yang kurang berkualitas. Bukankah setiap yang berprestasi perlu diapresiasi?

Sekolah-sekolah favorit biasanya dibangga-banggakan oleh para kepala dinas, sebagai sebuah prestasi yang bisa jadi mendukung prospek jabatannya. Sekolah-sekolah yang berkinerja buruk jadi sasaran ejekan, mungkin dengan niat agar jadi sekolah yang lebih baik. Namun, sekolah yang sudah buruk sulit beranjak menjadi lebih baik karena ukurannya terfokus pada prestasi akademik, khususnya mata pelajaran yang jadi mata uji seleksi sekolah lanjutan. Sekolah yang sudah favorit tak perlu susah payah karena input siswanya sudah terpilih unggulan.

Bagi yang setuju dengan mekanisme pasar dalam dunia pendidikan, selalu menilai keberhasilan berdasarkan prestasi dalam persaingan global. Jika prestasi seperti itu, anak-anak Indonesia (dan kebanyakan anak-anak di negara-negara Asia), sering meraihnya, seperti dalam olimpiade matematika dan fisika. Namun, menurut analisa Profesor Ng Aik Kwang dari University of Queensland dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)”, tak ada satupun orang asia pemenang hadiah nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreatifitas, karena prestasi-prestasi itu hanya berdasarkan pengetahuan semata.

Perlu disadari, masyarakat juga terpengaruh oleh regulasi-regulasi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Masyarakat sebagai pihak pengguna, mungkin kebanyakan hanya bereaksi terhadap apa yang dilakukan pemerintah. Jika masuk sekolah lanjutan berdasarkan seleksi, apalagi hanya terfokus pada mata pelajaran tertentu, maka masyarakat juga hanya mementingkan hal yang sempit seperti itu. Apakah ini yang diharapkan?

Seleksi berdasarkan prestasi juga kurang produktif jika diukur rerata secara nasional. Kebanyakan alasan yang digunakan adalah sikap kompetitif. Namun, kompetisi di lingkungan pendidikan berdampak buruk secara menyeluruh. Pembelajaran akhirnya hanya untuk bisa “terlihat” walau dengan cara mengalahkan. Semua ingin menang, dan tidak semua bisa menang dalam kompetisi.

Apakah yang tidak berbakat di bidang akademik sudah ditentukan sebagai pecundang? Tentu tidak, namun realitas di dunia kompetisi berkata lain. Jika sudah demikian, apakah yang bersangkutan pasrah dan tidak menggunakan cara lain? Maka muncullah manusia-manusia yang menghalalkan segala cara agar menang, karena tanpa cara curang mereka tak akan menang. Jadi jangan heran jika banyak koruptor berprestasi di pelosok negeri.

Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia dan lain sebagainya sudah merasakan keterpurukan prestasi pendidikan akibat mendasarkan pada sistem yang mengambil dari perspektif pasar dan bisnis, setidaknya itu menurut Pasi Sahlberg, seorang ahli pendidikan di Finlandia.

Sebaliknya, Finlandia saat ini menjadi terdepan di bidang pendidikan, karena sistem yang dipakai berkebalikan dengan sistem pasar, yaitu kolaborasi bukan kompetisi, keadilan bukan kalah-menang. Tak ada sekolah favorit. Bahkan sekolah swasta pun dilarang menarik pungutan, karena sekolah swasta dibiayai penuh oleh pemerintahnya. Tak ada tes standar di semua jenjang kelas, berlawanan dengan asumsi dunia industri yang penuh dengan standarisasi.

Indonesia punya dasar negara Pancasila, yang sila kelima berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, namun sistem pendidikannya secara realitas jauh dari keadilan sosial. Bahkan dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun masih terdapat diskriminasi, yaitu dalam Bab IV pasal 5 ayat 4 yang hanya memberikan hak pendidikan khusus bagi yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Padahal, setiap orang tua pasti menganggap anaknya memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Haruskah anggapan itu dikubur dalam-dalam? Haruskah kecerdasan dan bakat terkotak-kotakkan dalam mata pelajaran tertentu sesuai keinginan dan kebutuhan pemerintah yang menetapkan kurikulum?

Jika ingin adil, masukkanlah siswa-siswa yang berkesulitan belajar ke sekolah-sekolah favorit yang dipenuhi guru-guru hebat dengan fasilitas memadai. Siswa yang berprestasi? Cukup sekolah biasa, bukankah mereka tidak kesulitan mengikuti standar yang ada?

Namun ada yang lebih baik dan adil, yaitu kolaborasi. Pembelajaran bukan untuk mengalahkan, tapi untuk menjadi lebih baik bersama-sama. Tanpa kompetisi, yang mampu membantu yang tidak mampu, bukan meninggalkannya.

Bagi yang setuju adanya seleksi masuk sekolah lanjutan berdasarkan prestasi, sadarilah bahwa hal itu merusak jiwa anak-anak negeri. Jika masih di dalam sistem dan tak ada niat mengubahnya, maka bisa jadi telah berperan serta berbuat kerusakan dan kehancuran generasi masa depan. Tidak takut?

Solusi Praktis

Dengan besarnya kewenangan otonomi daerah, semua pemerintah daerah bisa mengambil peran strategis dalam pelaksanaan teknis pendidikan. Seleksi masuk ke sekolah tidak lagi berdasarkan prestasi, namun akses jarak dan transportasi. Orangtua tidak lagi bingung dan berdebar-debar untuk mencari sekolah karena bisa dipersiapkan bersama jauh hari sebelumnya. Sekolah juga tidak sibuk pamer dan promosi, dan lebih fokus pada bagaimana proses pembelajaran berjalan baik.

Seleksi berdasarkan akses jarak dan transportasi juga sangat bermanfaat. Siswa tidak perlu bersusah payah datang ke sekolah yang jauh atau sulit mendapat transportasi. Secara luas juga berdampak pada penghematan BBM dan mengurai kemacetan.

Pemerintah daerah juga bisa membuat prediksi daya tampung sekolah. Bisa jadi sebuah sekolah lanjutan diperbesar atau diperkecil jumlah rombelnya menyesuaikan calon peserta didik di lokasi tertentu.

Tentu saja, solusi ini hanya bisa tercapai jika pemerintah dan masyarakat memiliki visi yang sama terhadap pendidikan. Akankah?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama