Pilpres 2019 sudah bergaung dari sekarang. Semua sibuk mengkalkulasi kemungkinkan-kemungkinan serta keuntungan-keuntungan yang didapat jika mengajukan si A atau si B. Sah-sah saja karena memang itulah yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara ini. Rakyat barangkali hanya menunggu sikap negarawan partai-partai, apakah demi mereka sendiri atau untuk bangsa dan negara?

Pilihan juga semakin sempit, dengan batasan 20% dukungan legislatif agar bisa mengajukan capres, sehingga partai-partai tak mampu mengajukan calon alternatif yang barangkali diinginkan rakyat. Bahkan, bisa jadi mengulang pilpres 2014 yang hanya dua calon, sebuah kondisi yang pahit ketika terjadi polarisasi keras di tengah masyarakat. Apalagi dengan dua capres yang sama, Prabowo dan Jokowi.

Tak bisa dibayangkan, dua kali pilpres dengan dua kubu selama sepuluh tahun berlangsung! Tak adakah calon lain?

Bukan merendahkan potensi Jokowi dan Prabowo, tapi apakah tidak terpikirkan munculnya sosok kuat bebas dari pengaruh polarisasi partai politik? Seorang tokoh yang barangkali dengan bebas memilih orang-orang profesional di bidangnya untuk bekerja demi Nusa dan Bangsa. Sosok yang bukan petinggi atau petugas partai, dengan kekuatan legalitas dari rakyat melalui pilpres, berani menempatkan semua partai politik sebagai oposisi bagi dirinya!

Jika partai politik hendak menempati gedung parlemen, sebaiknya dudukilah sebagai kesatria, jadilah wakil yang mengawasi pemerintah. Tidak perlu bermanis-manis, apalagi berkongkalingkong dengan pemerintah yang memang dipekerjakan rakyat.

Baca: Pengamat: Poros Ketiga Sulit Tapi Memungkinkan

Andai rakyat bisa mengajukan sendiri calon pekerjanya (baca : presiden dan wakil presiden), barangkali bisa muncul sosok yang dibutuhkan. Namun, tidak ada jalan sedikit pun untuk itu. DPR sebagai lembaga legal yang jadi tempat tujuan saat partai didirikan, beserta pemerintah yang berkuasa, menghendaki presiden mendatang hanya jika didukung oleh partai-partai.

Akhirnya, rakyat hanya berharap partai-partai bersedia bersikap sebagai negarawan. Sudah semestinya, perhitungan untung rugi untuk partai disingkirkan, sehingga tidak sibuk hitung survei dan buang uang kampanye. Pilihlah calon pekerja rakyat yang bisa diterima kalangan profesional, diajukan sebagai calon presiden tanpa perlu banyak pencitraan. Andai yang menjadi calon punya kapasitas, tak perlu pusing dengan elektabilitas. Bukankah rakyat hanya bisa memilih dan tidak bisa mengajukan pilihan?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama