Tulisan, terkadang tendensius sesuai keinginan penulisnya, berusaha mempengaruhi para pembacanya. Sama seperti saat ini, para pembaca tulisan ini yang budiman juga sedang diusahakan agar terpengaruh.
Tidak ada tulisan yang “tidak bermaksud”, atau bukan disebut tulisan kalau memang tidak mengandung maksud si penulis. Karena itu, persepsi penulis pasti melekat pada tulisannya. Bisa dikatakan, tulisan mencerminkan watak si penulis, entah dengan cermin yang buram atau mengkilap sempurna.
Lebih jauh lagi, persepsi penulis sering terbentuk atas berbagai prasangka terhadap orang lain, atau terhadap calon pembaca tulisannya. Misalnya, ketika berdiskusi tentang keputusan MK menolak JR terkait Zina dan LGBT, ada yang berpendapat bahwa keputusan MK adalah benar karena bukan kewenangannya. Di lain pihak, si penulis anggap keputusan MK keliru. Maka, ketika akan membuat tulisan, pasti ada prasangka bahwa yang menyetujui keputusan MK itu pro LGBT, atau prasangka lebih ringannya dianggap kurang peduli akan penyebaran penyakit LGBT.
Tulisan yang dihasilkan dengan membawa prasangka tidaklah berdampak baik dalam komunikasi. Contoh, ketika seorang wartawan mengomentari Ustadz Abdul Somad yang dipulangkan paksa dari Hongkong. Komentarnya disertai prasangka buruk, sehingga kata-kata yang tertulis hanyalah justifikasi tanpa klarifikasi. Akhirnya dikecam habis oleh para netizen.
Prasangka itu muncul dari emosi. Kebencian dan ketidaksukaan dalam suatu hal itu lumrah. Perintah Allah bukan menghilangkan kebencian atau ketidaksukaan, namun bagaimana berbuat secara “adil”. Maksud “adil” adalah mengambil keputusan bukan berdasar kesukaan atau ketidaksukaan, melainkan atas dasar fakta. Menulis, sebaiknya begitu, jika dimaksudkan tulisannya sebagai alat komunikasi.
Namun berbeda bila tulisan sastra. Tulisan sastra memang sudah disengaja untuk mengekspresikan perasaan. Jadi, para pembaca sudah bisa maklum.
Seadil-adilnya tulisan, tetap saja bisa berdampak buruk jika dibaca dengan prasangka. Contoh, ketika seorang penulis menyebut dengan sifat namun tanpa nama, ada pembaca yang anggap itu menunjuk ke nama seseorang, padahal bukan.
Pembaca yang “tidak adil”, ketika melihat tulisan tidak dicermati benar-benar, atau hanya sekilas namun sudah beranggapan sebelum selesai membacanya. Bahayanya, setelah membaca dengan “tidak adil”, kemudian sebarkan permusuhan kepada penulis atau sebarkan tulisan lawan yang penuh prasangka ke khalayak ramai.
Masih mending penulis daripada pembaca. Penulis punya “tanggungjawab” terhadap apa yang ia tulis, siap menerima resiko. Pembaca yang hobi share tanpa cermat membaca dan sekedar ikuti prasangka dangkal, akan menyebarkan banyak fitnah dan kerusakan tanpa merasa bersalah dan dengan mudah “cuci tangan”. Tak heran Allah mengingati manusia untuk menghindar dari “penyebaran berita syubhat” sejauh-jauhnya.
Namun, “berbuat adil” itu tuntutan Tuhan yang harus dipenuhi manusia. Maka, menulislah dengan adil, membaca pun harus dengan adil.