Tempo hari saya tercengang dengan megahnya sebuah masjid di desa Raji, Demak, Jawa Tengah. Rupanya masjid yang belum selesai di bangun itu sudah menelan biaya 5 milyar. Lantas dari mana uang sebanyak itu bisa terkumpul?
Desa tersebut bukanlah tempat wisata, saya berkunjung ke desa tersebut dalam rangka memenuhi undangan pernikahan anak adiknya adik ipar ibuku. Sebagai anak yang ingin berbakti pada ibuku yang telah tiada, maka meski jauh dan harus kutempuh dalam waktu 5 jam, saya tetap berusaha menghadiri undangan tersebut demi menjalin silaturahmi dengan kerabat ibuku walau hubungan kekerabatan tersebut bukan karena hubungan darah.
Mobil para tamu undangan diparkir di depan sebuah masjid. Dan rombongan keluarga saya pun tidak hanya parkir namun juga sejenak istirahat di masjid tersebut. Saya mengamati masjid tersebut dengan seksama lalu muncul pertanyaan dalam benak, ini masjid milik siapa kok megah sekali?
Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam dada. Sampai suatu saat saya bertanya kepada sepupuku kebetulan duduk di dekatku. Saya tanya dia karena dia adalah ponakannya yang punya hajatan yang saya tahu sepupuku itu sering berkunjung di desa ini.
“itu masjid bagus banget punya siapa?”
“Punya warga sini mbak, itu sudah menghabiskan dana 5 M lho mbak.” Jawab sepupuku dengan penuh semangat dan mata berbinar bangga.
“kok bisa terkumpul dana sebanyak itu, apa minta bantuan ke luar negeri ya?” telisikku lebih lanjut.
‘Enggak mbak, nggak ada sama sekali, itu murni swadaya warga sini” cerocosnya berusaha meyakinkanku
“Oh ya?, tidak mengajukan juga bantuan ke pemerintah misalnya?” tanyaku lagi.
“Enggak mbak”
Mendengar jawaban itu membuatku semakin penasaran “ kok bisa terkumpul uang sebanyak itu ya, kaya-kaya berarti warganya ya?”
“warga disini pada merantau mbak, ke kalimantan, sumatera dan lain-lain. Mereka transfer uangnya kesini untuk pembanguan masjid. Tapi semua warga ikut menyumbang, bkan hanya yang merantau.”
“Usaha apa mereka di perantauan?”
“Dagang mbak, dagang pakaian, kelontong dan lain-lain.”
Kemudian sepupuku itu bercerita bahwa dari desa ini tiap tahunnya diberangkatkan jamaah haji diatas 25 orang, dan jamaahnya masih muda-muda. Di kampung yang mayoritas penduduknya muslim, bisa naik haji merupakan salah satu indikator bahwa orang tersebut dipandang orang mampu.
Kami warga kampung memang sangat sederhana dan tidak berfikir muluk-muluk untuk traveling ke banyak destinasi wisata apalagi piknik ke luar negeri. Bagi kami orang kampung bisa menjalankan rukun iman yang ke-5 sudah merupakan hal yang sangat memuaskan batin.
Warga desa Raji memberikan kita keteladanan akan semangat gotong royong dan kemadirian dikalangan umat islam. Mereke membangun sendiri masjidnya tanpa minta bantuan ke warga lain apalagi minta bantuan di jalan-jalan yang terkadang masih kita jumpai di tempat lain.
Dari proyek pembangunan masjid di desa Raji kita bisa melihat bahwa potensi dana umat bisa tergali dengan mudah asal mereka percaya kepada pengelolanya dan bisa melihat hasil dari dana yang mereka salurkan. Warga Raji percaya pada pengelola pembangunan masjid dan mereka juga bisa langsung melihat hasilnya berupa bangunan masjid yang megah.
Adalah tugas kalangan aktifis dakwah untuk memberikan pemahaman tentang luasnya kebutuhan umat islam yang tidak hanya terbatas pada pembangunan masjid. Banyak ladang amal yang hasilnya tidak bisa terlihat dalam waktu dekat namun punya dampak besar bagi perkembangan dakwah. Jiwa gotong royong masyarakat yang sebenarnya masih tumbuh subur di negri ini perlu dikelola secara profesional dan disalurkan ke berbagai bidang kehidupan.
Salah satu contoh ladang dakwah yang masih kurang dipahami oleh umat islam adalah dakwah melalui media, terutama melalui TV. Hampir di setiap rumah sejak dari anak-anak sampai kakek nenek, mereka banyak menghabiskan waktu di depan layar TV. Mereka menelan apa saja sajian yang dihidangkan station TV bahkan sering tanpa “dikunyah” terlebih dahulu.
Bila hal ini terus menerus terjadi tanpa ada sajian lain yang mengedepankan nilai-nilai islam maka dikhawatirkan pemikiran maupun perilaku masyarakat bisa terpengaruh. Bahkan berita maupun acara lain yang mendiskreditkan islam akan dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh pemirsanya.
Umat islam perlu mengupayakan memiliki station TV yang menampilkan nilai-nilai islami, dengan mata acara yang beragam dan atraktif sehingga menarik minat masyarakat untuk menonton. Maka Industri kreatif yang mencerminkan keislaman harus didorong pula untuk tumbuh sehingga bisa berjalan beriringan untuk mengisi mata acara TV tersebut.