Kata orang pro demokrasi, pers adalah pilar demokrasi, sebagai ‘pengawas’ atas nama rakyat terhadap wakil-wakilnya sendiri yang duduk di kursi mandat kekuasaan. Sejajar berdampingan dengan partai politik — jalur resmi kontrak legal rakyat meletakkan wakilnya –.

Harapannya, pers bergerak independen sehingga bisa mengoreksi kebijakan yang tak berpihak, mengingatkan janji agar ditunaikan, serta meluruskan kesalahan hingga diperbaiki. Juga, pers jadi andalan agar komunikasi terbuka sehingga mendatangkan manfaat dan meninggikan kesadaran berwarga negara yang partisipatif.

Hubungan rakyat dan pemerintah akan terjalin baik apabila mendudukkan pers hanya sebagai alat komunikasi. Menjadi bencana ketika “pers” beralih jadi pihak ketiga, memiliki kepentingan sendiri dan kemudian menggunakan kekuatannya mempengaruhi hubungan rakyat-pemerintah. Sayangnya, seringkali “pers” lebih diuntungkan bila hubungan rakyat-pemerintah sedang “ribut”.

Tanda kutip pada kata “pers”, hanya menunjukkan kalau ternyata ada segolongan rakyat yang memiliki kelebihan mendudukkan diri sebagai pihak pers, tidak secara eksplisit. Mereka itu pemilik media, bukan sejatinya pers namun memposisikan sebagai pers, atau setidaknya “mengendalikan” pers.

Di Indonesia, begitukah? Dari suatu survei, ternyata media pers adalah salah satu yang paling kurang dipercaya selain DPR dan partai politik. Lucu juga, negara demokratis tapi rakyat tidak percaya pada wakilnya sendiri.

Sepertinya, media pers jadi ikut tidak dipercaya karena para pemilik media juga termasuk pengurus partai. Sebut saja Surya Paloh, Aburizal Bakri, dan petinggi partai baru Hari Tanu. Barangkali ada yang berpikir pers tertular buruknya partai politik, namun sejatinya karena pers merendahkan derajatnya sendiri karena kehilangan sifat penengah dan tidak memerankan diri sebagai alat komunikasi yang baik.

Kesan bahwa pers telah terkooptasi para kapitalis terlihat saat peringatan Hari Pers Nasional kemaren, dengan datangnya jet-jet pribadi, menghapus tuntas ungkapan ‘kuli tinta’ beralih menjadi dinasti bisnis milenial. Media mainstream berkuasa dengan segala teknologi, akses ke basis kekuasaan dan kekuatan modal, menenggelamkan para jurnalis idealis sedalam-dalamnya.

Pernyataan petinggi dewan pers Indonesia menguatkan sinyal terkooptasinya pers dengan terang-terangan menganjurkan memilih presiden Jokowi kembali pada 2019 mendatang. Barangkali ada yang menyatakan itu sebagai gurauan, tapi malah mengindikasikan refleksi bawah sadar akan kesetujuan keberpihakan pers kepada penguasa.

Demokrasi, yang berasal dari dunia liberal kapitalis, sesungguhnya menyimpan potensi diktator terselubung ketika kapitalis berbentuk korporasi beroperasi sebagai pemilik media. Korporasi selalu bagaikan ‘raksasa nan terus lapar’, mengejar untung sembarang cara. Ada ahli menyatakan sifat-sifat korporasi mirip penderita psikopat, sehingga tak heran korporasi media bertindak ‘brutal’ menghantam idealisme pers.

Mana yang paling aman bagi pemilik pers, tetap dalam idealisme pers atau pragmatis menuai panen atas puja puji ke penguasa? Karena profit oriented, tentu pilih berlindung ke ekosistem kekuasaan. Bagi yang tegak dalam idealisme, paling akan terdampar dalam kesulitan, misal seperti mantan wartawan senior Asyari Usman yang ditersangkakan atas tulisan-tulisannya.

Kabar buruknya, dan ini mungkin ikut menempatkan pers dalam perpektif negatif masyarakat, sedang dibahas pasal penghinaan terhadap presiden setelah sebelumnya diterapkan pidana tentang penyebaran ujaran kebencian. Jurnalis-jurnalis independen yang baru tumbuh seakan berada di lingkup pemahaman tunggal untuk mengikuti wacana pemerintah tanpa boleh ‘mempertanyakan’, seakan-akan. Sedangkan media besar terlena meraup untung melalui pemberitaan pencitraan.

Media-media besar punya amunisi lengkap untuk mengarahkan persepsi publik, dengan segala teknologi komunikasi massanya. Tentu, salah satu persepsi yang diinginkan, bertujuan demi keberlangsungan hegemoni mereka sendiri. Urusan ‘mencerdaskan’ rakyat bukan dalam prioritas pemilik modal. Sedangkan media-media kecil berteriak-teriak tanpa terdengar, mencoba eksis dengan berbagai akrobat, namun sering jatuh terperosok dengan berbagai kesalahan.

Bagaimana agar pers bisa menempatkan diri pada kedudukan yang semestinya? Perlukah menghilangkan peran kapitalis? Sepertinya berat. Barangkali, rakyat perlu gotong royong sendiri membangun media pers.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama