Oleh : Muhammad Hanif Priatama, ST
Seonggok mesin selalu dihargai ketika mampu menghasilkan keuntungan. Suatu saat ketika sudah berkurang kinerjanya, maka siap-siap disingkirkan. Begitulah di dunia industri, efisiensi merupakan cara terbaik meraih keuntungan.
Guru bukanlah mesin industri. Semakin lama guru mengajar, jam terbang tinggi, maka semakin tinggi kualitasnya. Asumsi ini apabila guru diposisikan sebagai sumber daya manusia yang berkembang terus menerus. Karena itu, nilai kerjanya juga meningkat seiring waktu.
Tetapi, seringkali ada persepsi yang memposisikan guru sebagai mesin industri, entah itu dari pihak guru sendiri, pengambil kebijakan, atau masyarakat. Masyarakat sebagai pengguna jasa ‘memaksa’ guru siap jadi mesin yang harus jalan sempurna di hari pertama. Guru juga harus siap ‘disingkirkan’ apabila menurun kualitasnya. Pengambil kebijakan, yang mau tidak mau terbentur dengan anggaran, selalu menekankan pengukuran kinerja agar dana yang dikeluarkan sesuai dengan target-target. Sedangkan dari diri guru sendiri, menganggap profesi sebagai pendulang penghasilan, sehingga prinsip efisiensi juga diterapkan : sedikit kerja banyak hasilnya.
Persepsi yang sama, yaitu menganggap guru sebagai mesin industri, tapi dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda menghasilkan adu kepentingan yang meruncing ke arah penurunan efektifitas pembelajaran. Lebih parah lagi, mengarahkan semua pihak untuk menganggap siswa-siswa sebagai barang produksi yang harus bagus dengan standar yang sama dan seragam. Yang tidak seragam diolah kembali atau dibuang.
Persepsi yang keliru itu sebaiknya tidak terjadi di masyarakat kita. Tapi, keadaan sudah mengarahkannya. Tingkat pendapatan guru yang pas-pasan selalu membuat guru mempertimbangkan profesinya, apakah diteruskan atau tidak. Jika diteruskan, maka besarnya pendapatan selalu jadi perhitungan sehari-hari. Tanpa terasa, profesi guru dipersepsikan sebagai pendulang penghasilan.
Guru terbaik adalah guru yang benar-benar berkonsentrasi kepada pekerjaannya, sedangkan dirinya mencintai pekerjaannya itu. Selayaknya guru yang demikian tidak boleh diganggu dengan kekhawatiran kebutuhan keseharian keluarganya, pendidikan anak-anaknya, keamanan lingkungannya.
Guru terbaik tersebut juga tidak boleh diganggu dengan para pihak yang ‘dipaksa’ khawatir oleh sistem, sehingga selalu mengejar-ngejar laporan dan segala tetek bengek administrasinya, yang seringkali tidak berhubungan signifikan dengan tugas seorang guru. Cukup buat parameter sederhana yang bisa digunakan pihak berwenang memonitor kinerja tanpa harus menambah kerja guru itu sendiri.
Pengambil kebijakan juga harus mengatur segala sesuatu sehingga semua pihak menyadari bahwa guru bukanlah mesin industri, tentu beserta sikap-sikap dan tindakan yang mencerminkan hal tersebut. Model-model standarisasi sudah semestinya dimanusiakan (bukan dihilangkan), karena standarisasi itu cara pandang industri, sedangkan manusia dan lingkungannya unik dan tak seragam. Contohnya, penilaian berbasis standar yang cenderung memproduksi, diganti dengan penilaian berbasis kearifan yang cenderung mencipta.
Terakhir, masyarakat juga harus memposisikan guru sebagai manusia, yang bisa salah dan luput, yang bisa berubah dan belajar bersama, duduk saling bicara. Kebaikan guru menjadi kebaikan anak-anaknya, dan anak-anak bangsanya.
Jika semua memiliki niat yang sama dalam persepsi, maka semua menjadi seiring dan sejalan menuju masyarakat yang berkembang berbudaya. Semoga.