Ge Pamungkas, nama panggung, lahir di Jakarta tahun 1989, adalah pelawak tunggal (komika) yang mulai terkenal semenjak memenangi Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV Season kedua. Saat ini ia sedang mempromosikan filmnya berjudul “Susah Sinyal” dengan tampil di berbagai tempat.

Publik heboh dengan cuplikan video yang viral, berisikan penampilannya yang diduga melecehkan Islam. Saat tampil di video itu, lulusan SMA Al-Izhar Pondok Labu ini semula mengkritisi netizen yang berkomentar tentang banjir di Jakarta saat dipimpin oleh gubernur lama dan yang baru. Namun, karena menggunakan kalimat yang mengandung kata merendahkan di tengah lawakan, menyinggung perasaan netizen, sehingga menuai banyak kritikan.

Lawakan, atau gurauan, seringkali diidentikkan dengan “tipuan” atau hal yang tak sebenarnya, sehingga bagi kebanyakan pelawak sah-sah saja berkata apapun karena dianggap hanya lelucon, tak sebenarnya. Walau demikian, tak semua orang memiliki persepsi yang sama. Banyak terjadi, orang tersinggung atas lelucon orang lain, dan ini normal.

Harga manusia ada pada integritasnya. Semakin banyak orang bercanda, maka melekat padanya sebagai orang yang tidak serius, tidak bisa dipegang kata-katanya, tidak dianggap menjadi pemimpin yang baik. Kalaupun bercanda, orang yang terpercaya selalu bercanda dengan kata-kata yang benar, bukan tipuan. Karena itulah, sangat normal jika suatu lelucon itu ditanggapi tidak lucu bahkan menghina, oleh orang-orang yang menjaga integritas kejujuran kata-kata.

Kata-kata GE Pamungkas sudah ke arah menunjuk personal, ketika leluconnya menjurus mempertanyakan pribadi pemimpin Jakarta saat ini. Bahkan, walau lelucon, mendudukkan diri lebih tinggi seolah memberi statemen bahwa ada orang yang diragukan dicintai Allah, dengan kata “cintai … apaan??”.

Apakah kata-kata itu serius? Tentu tidak, karena dalam lelucon. Namun, apakah pada tempatnya? Kalaupun dianggap serius, bahkan sudah dalam kategori menghina dan mencaci.

Dalam Al Quran, segolongan orang munafik suka bersenda gurau dan bermain-main dengan Islam, kemudian turun ayat yang membuka aib mereka.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [at-Taubah/9:65-66]

Walau ayat tersebut ditujukan kepada orang munafik, sebagai mukmin yang taat seharusnya berjaga diri untuk tidak berlaku seperti itu.

Mempertanyakan “jalan Allah” dan menjadikan bahan olok-olokan juga menjadi watak orang munafik. Gara-gara tidak sesuai dengan akalnya atau karena kepentingan pribadi, bisa saja seorang ustadz yang menyampaikan kebenaran malah diolok-olok, padahal berada di jalan Allah.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا ۖ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan perkataan yang tak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, (maka) dia berpaling dengan menyombongkan diri seolaholah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. [Luqman/31:6-7]

Menghibur orang lain itu baik. Tapi, jika sudah membawa-bawa agama dalam lelucon, sama artinya mulai mengaburkan kebenaran. Bukankah Lelucon identik dengan tidak serius, tipuan, bohongan?

Nasehat Baginda Rasul kepada umatnya, hati-hati terhadap candaan, apalagi dengan cara berdusta, karena itu mencelakakan.

عن بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ (الترمذي وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

Dari Bahz bin Hakim, bahwa bapaknya telah bercerita kepadanya dari kakeknya, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara dengan satu pembicaraan agar menjadikan tertawanya kaum, maka ia berdusta, celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR At-Tirmidzi, hadits hasan).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama