Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan, tertahan di panggung penonton dan tidak ikut serta turun ke lapangan mendampingi Presiden Joko Widodo, setelah dihentikan oleh Paspampres seperti yang terlihat dalam video yang beredar di dunia maya.

Netizen pun bergolak, banyak menyayangkan mengapa hal tersebut terjadi. Banyak pula yang mempertanyakan tindakan panitia tidak melibatkan Gubernur dalam penyerahan piala. Bahkan, masih banyak yang terheran-heran dengan jawaban klarifikasi panitia, bahwa tidak ada kewajiban menyertakan tuan rumah dalam acara yang melibatkan presiden.

Maka, tak heran kemudian para Netizen mengupas kembali aturan protokol pejabat negara, bahkan ada juga yang menghubungkannya dengan isu-isu politik jelang pilpres 2019.

Gejolak Netizen tidak akan terjadi bila Anis Baswedan turun mendampingi Presiden dalam penyerahan piala, karena sudah lumrah demikian, siapapun pejabatnya. Protokoler kenegaraan juga menegaskan demikian. Apakah penyelenggara tidak punya “rasa” kelumrahan tersebut?

Bila memang “merasa lumrah”, akan sangat terhormat bila kemudian meminta maaf atas ketidaklumrahan. Akan menjadi polemik bila hanya mencari-cari alasan, yang akhirnya berujung perdebatan tentang status piala Presiden sebagai even resmi atau tidak resmi.

Barangkali, kejadian tersebut tidak sepengetahuan pribadi presiden, namun oleh orang-orang di lingkaran kekuasaan. Entah hal apa yang menjadi pertimbangan, yang jelas muncul persepsi buruk kepada presiden, terutama menyangkut kepercayaan publik terhadap sifat kepemimpinan.

Seorang pemimpin kehilangan kepercayaan dari anak buahnya ketika kekuasaan lebih mendominasi daripada etika pribadinya. Kekuasaan yang berlebihan selalu menerobos batas-batas kesepakatan bersama, bertolak belakang dengan esensi etika yang menghormati konsistensi ikatan kelompok.

Kekuasaan berlebih juga mempunyai sifat menindas, merendahkan, atau menekan. Salah satu dampaknya, terjadi polaritas yang tajam antar kelompok. Selalu muncul pihak yang berseteru, saling ingin mengalahkan.

Lawannya adalah etika yang punya sifat berkebalikan, seperti hormat, merangkul, membebaskan. Etika menjadi ungkapan perilaku kolaboratif yang mampu menjadi sinergi bersama.

Negara-negara yang membangun etika lebih tinggi daripada cara-cara kekuasaan, mampu menggerakkan rakyatnya untuk bersatupadu demi negaranya, sehingga negara seperti Jepang mampu bangkit dari keterpurukan atas kekalahan di perang dunia.

Di setiap negara pasti memiliki etika dasarnya masing-masing, namun ada etika universal yang menjadi landasan semuanya, yaitu sikap teguh terhadap perjanjian bersama. Jika etika ini hilang, maka kerusakan besar akan terjadi.

Siapapun yang ingin negeri ini utuh dan jaya, sudah selayaknya mendahulukan etika dibanding kekuasaan, dengan menghormati berbagai bentuk perjanjian yang sudah ada, baik dalam bentuk peraturan/undang-undang maupun kesepakatan lainnya. Apa yang sudah terjadi sebaiknya diakui sebagai kekeliruan yang jangan sampai terulang. Semoga.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama