Zaadit Taqwa, mahasiswa Universitas Indonesia yang menjabat sebagai ketua BEM UI, melakukan tindakan demonstratif unik di hadapan para pejabat negara dengan mengacungkan kartu kuning, simbol peringatan dalam dunia sepakbola. Tindakan ini mengundang pro dan kontra yang luas. Ada yang mendukung, ada yang mencela.
Kartu kuning bermakna peringatan atas sebuah kesalahan, dan jika melakukan kesalahan yang setara maka akan dikeluarkan dari pertandingan. Pemain yang terkena kartu kuning bisa bersikap macam-macam, ada yang protes, ada yang abai, ada pula yang hormat.
Mungkin sebelumnya penonton ikut mencela kesalahan yang dibuat pemain. Namun, respek akan muncul segera kepada pemain yang hormat, terlepas dari baik atau buruknya kinerja si wasit. Bukan masalah kartu kuning atau kesalahan yang diperbuat, namun sikap terhadap peringatanlah yang memunculkan respek.
Seorang pemuda, entah siapa dia, berkata lantang tertuju ke sang Khalifah Umar bin Khaththab yang baru dilantik, dengan ucapan yang sangat “sadis” tapi benar: “Andai Anda melenceng, kuluruskan dengan pedangku!”. Peringatan ini sangat keras kalau hanya dibanding sepucuk kartu kuning.
Umar bin Khaththab tidak melihat siapa pemuda itu, seberapa banyak hafalannya, seberapa besar kapasitasnya. Yang ia lihat, sikapnya. Sikap pemuda itulah yang ia butuhkan agar tidak terjebak menjadi pemimpin yang nyaman dengan kekuasaan.
Betapa banyak contoh sejarah, pemimpin-pemimpin negeri yang membawa kehancuran moral dan adab di dunia. Firaun, Namrudz dan para pemuka negeri yang pernah terlanda azab, terjebak dengan puja-puji kaumnya sendiri, merasa besar dengan kekuasaannya. Ketika kemudian datang para rasul dengan kritikan sayang, mereka mendustakan.
Tidak sekedar saat Khalifah Umar dilantik, pula ketika telah lama memerintah pun ia terus awas terhadap bahaya nyaman berkuasa. Seorang ibu yang mencaci khalifah, gara-gara memasak batu untuk menipu anak-anaknya karena tak punya bahan makanan, tidak membuat Umar bin Khaththab menghukum si ibu. Bahkan, ia angkut sekarung bahan makanan itu sendiri, dengan kata-kata ketakutan : siapa sanggup menggantikan dosa ini di akhirat?
Sang Umar tidak berapologi dengan berbagai alasan, padahal bisa saja menyalahkan pegawainya, menyalahkan kondisi negara, menyalahkan pacekliknya, menyalahkan lain-lainnya. Inilah simbol kepemimpinan yang dominan dibanding kekuasaan. Muncul karena watak seorang yang pasrah kepada jalan kenabian, jalan penghambaan, dan jalan ujian Tuhan.
Zaman demokrasi yang penuh pencitraan, sosok seperti Khalifah Umar akan sulit dicari, walau masih mungkin. Para calon pemimpin sudah terkotak pikirannya dengan istilah semacam ‘elektabilitas’ dan lain-lainnya sehingga citra menjadi dianggap penting. Pendapat rakyat dianggap bagaikan pendapat Tuhan yang Maha Menentukan.
Padahal, kata ‘atas nama kedaulatan rakyat’ sebagai slogan demokrasi, tidak membuat para pemimpin takut dan sadar untuk tidak terjebak kekuasaan, menjadi-jadi malahan. Tidaklah ini yang diharapkan rakyat.
Semoga, Islam yang masih kuat berakar di negeri tercinta ini, mampu memberi hikmah kepada calon-calon pemimpin masa depan, untuk kemudian beralih dari takut kehilangan citra diri menjadi hanya takut kepada hari pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.
nggih Ustadz,
setuju…
sae seratan panjenengan…