Di mana tanggung jawab Muslim?

RUU KUHP yang baru sepertinya akan disahkan sebelum pilihan legislatif 2019, karena kejar tayang. RUU ini disusun semenjak pemerintahan era SBY yang didesain oleh orang-orang dari kalangan pro HAM, sehingga pasalnya “berbau” HAM, bukan norma agama dan norma hidup di masyarakat.

RUU KUHP yang diajukan secara resmi pada tahun 2012 dan masuk Prolegnas 2013 ini mengandung pasal-pasal yang “tidak menghukum berat” pelaku-pelaku LGBT. Contohnya di pasal tentang pemerkosaan, hanya mencantumkan wanita sebagai korban. Memang ada pasal tentang “kumpul kebo”, namun masih delik aduan dan hukumannya sangat ringan. Juga, pasal tentang LGBT pun mensyaratkan perbuatan cabul di bawah 18 tahun, di atas itu bukan pidana.

Seperti diketahui bersama, KUHP peninggalan penjajahan Belanda ini merupakan sumber hukum pidana di Indonesia. Tidak semua norma agama dan norma hidup di masyarakat terdapat di dalamnya, sehingga keberadaan pasal-pasal KUHP sangat mempengaruhi keputusan hakim di pengadilan walau bertentangan dengan norma-norma tersebut. Oleh karena itu, pembaharuan KUHP melalui pemegang kekuasaan pembuat UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, sangat penting untuk dicermati dan kalau perlu dikawal dengan baik.

Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), ketika memutuskan Judicial Review (JR) terhadap pasal-pasal KUHP lama, keputusannya adalah final namun terhadap keberadaan KUHP yang lama. Ketika kemudian RUU KUHP yang baru disahkan, maka keputusan MK tersebut tetap berlaku kepada KUHP yang lama, bukan KUHP yang baru disahkan. Ringkas kata, apapun keputusan MK, KUHP yang baru tetap berlaku.

Bagaimana jika ada JR terhadap KUHP yang baru ke MK? Bisa saja, namun MK hanya bisa memutuskan suatu pasal tidak berlaku dan tidak bisa membuat pasal baru, sehingga pasal yang lama secara otomatis diberlakukan. Kalau pasal tentang LGBT belum pernah tercantum di KUHP, maka dianggap pasal itu belum menjadi sumber hukum di Indonesia. Tugas DPR-lah (bersama pemerintah) yang membuat dan mengesahkannya.

Seburuk-buruk DPR, itulah tempat satu-satunya rakyat bisa ikut andil menata negara ini dengan menetapkan aturan-aturan hukum di masyarakat. Mereka wakil rakyat, seharusnya menjadi aspirasi masyarakat. Kalaupun sekarang banyak anggota DPR yang tidak “aware” terhadap bahaya RUU KUHP, maka saatnya diingatkan akan bahayanya. Pasal-pasal tentang LGBT akan menjadi bahan perdebatan sengit antara politisi Muslim dengan politisi pro LGBT di DPR jika benar-benar dibahas.

Masyarakat Muslim bisa memulai dengan mengajukan tuntutan-tuntutan ke DPR mengenai RUU KUHP, kalau perlu sedahsyat ketika bersatu padu di Monas ketika membela ayat-ayatNya dan ketika unjuk solidaritas Palestina. Kekuatan inilah yang mampu menekan para wakil rakyat, apalagi ketika perdebatan di DPR akan disaksikan sebagai acuan, politisi dan partai mana yang akan dipilih di pemilu legislatif 2019. Tunggu apa lagi?

1 KOMENTAR

  1. Nah…ini salah satu tulisan yang adil tentang kisruh putusan MK kemarin. Tidak caci maki MK, tidak pula bela-bela MK. Waras. Dan berinisiatif untuk dua langkah lebih ke depan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama