Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Arie Sujito dan Dhaniel Dhakidae. Dhaniel mengatakan bahwa Malari punya andil besar dalam mengubah pola kepemimpinan Suharto. “Malari mengajari Suharto menjadi otoriter.” Malari bukan hanya tahun 1974 saja, namun sudah dimulai sejak 72 dan 73. Sebelum Malari meletus, ada demonstrasi nyaris setiap hari di seluruh daerah oleh para mahasiswa.
Menurut Dhaniel, korupsi sudah bukan masalah moral lagi. Tetapi, sudah menjadi bagian dari kekuasaan. Korupsi sudah tidak bisa dilihat dari sisi moralitas, namun sudah menjadi bagian sistem politik yang mengerucut pada kekuasaan. Sudah bukan personal lagi, tapi sudah kolektif.
Disambung pembicara berikutnya, Bima Yudhistira yang memaparkan keadaan ekonomi saat ini. Dalam pandangannya, ekonomi nasional kita bergerak tidak lebih baik dibandingkan sebelumnya. Rasio gini yang tidak ada perubahan, pembangunan infrastruktur yang terindikasi hanya untuk masyarakat kelas menengah ke atas, hingga pemaparan kesalahan-kesalahan pemerintah dalam membaca keadaan.
Sambung Bima, Presiden Jokowi termasuk orang yang tidak peka terhadap data yang masuk kepadanya. “Pak Harto punya kebiasaan membaca majalah Forbes, Times dan artikel-artikel untuk kemudian didiskusikan lebih dulu. Begitu ada data yang dikatakan oleh menterinya, Pak Harto terbiasa tak begitu saja percaya dan meng-counter dengan data yang sudah dia baca sebelumya. ‘Katamu data pembangunan segini, tapi menurut ini, kok begini’. Pak Harto terbiasa begitu, sehingga tidak terlalu buta data. Beda dengan Pak Jokowi. Pak Jokowi terbiasa dengan asupan data dari lingkaran-lingkaran dekatnya, yang terbukti salah beberapa kali. Terakhir adalah beda data antara Kemendag dengan Kementan terkait jumlah pasokan beras. Juga data ekonomi, Menkeu pernah menyatakan kalau daya beli kita shifting dari konvensional, menjadi online. Namun, data menunjukkan kalau market online itu hanya sekitar 1% dari seluruh jumlah barang yang berputar. Itu pun hanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke atas, karena masyarakat kelas bawah jarang yang punya smartphone.”
Bima Yudhistira, dengan menggebu-gebu kemudian mengatakan, “pembangunan infrastruktur kita banyak yang tidak memihak pada rakyat kecil dan hanya memudahkan masyarakat kelas menengah ke atas saja. Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung misalnya. Apakah pernah dibuka ke publik kalau nanti, tiketnya akan berharga 100-ribu sekali perjalanan? Juga sama yang terjadi di Kulon Progo, New Yogya International Airport itu kan untuk menengah ke atas. Petani dan pemilik lahan digusur, kurang dilibatkan dalam pembangunan bandara di tempat mereka sendiri. Memang berapa banyak petani yang pernah naik pesawat atau hanya sekadar ke bandara saja?”
Diskusi kemudian dipuncaki dengan pembacaan puisi oleh Emha Ainun Najib. Cak Nun yang juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan memulai dengan menceritakan kisah dan kedekatannya dengan Bang Hariman. Termasuk keterlibatannya di Yogya saat Malari, di berbagai tempat saat Reformasi, melayat korban Mei 98 dan aktivitasnya di lingkaran pusat Suharto saat Reformasi terjadi.
“Saya pencari alam ghoib. Setalah 65 tahun mengembara ke sudut-sudut alam semesta, saya menemukan yang paling ghoib di antaa semua yang ghoib adalah Republik Indonesia itu sendiri. Sedemikian ghoibnya, Hariman Siregar yang berjuang 44 tahun, belum menemukan jawabannya sama sekali,” kata Cak Nun di atas podium yang membuat seisi ruangan tergelak tawa.
“Kalau Hariman bingung dengan Indonesia, saya sudah lama menganggap bahwa ini bukan Indonesia. Indonesia bukan begini ini,” sambung Cak Nun. Didasari atas kebingungan demikian, Cak Nun lebih memilih menuliskan puisi ketimbang menulis makalah untuk dibicarakan di sana. Puisi panjang itu cukup merefleksikan kebingungan dan