Dia masih muda, umur baru tiga puluha tahunan, namun tekanan darah tinggi yang sudah lama dideritanya menyebabkan ginjalnya rusak dan tidak dapat berfungsi lagi.  Jalan satu satunya adalah dengan cuci darah.

“Kenapa aku yang harus begini dok?” tanyanya padaku saat aku akan memulai melakukan pemeriksaan ulang penyakitnya di suatu pagi.

“Ini namanya coboan pak”. Jawabku.

“Kenapa cobaan ini diberikan padaku.  Padahaal aku rajin shalat, rajin puasa dan rasanya tidak ada kewajiban yang kutinggalkan.  Lalu aku yang diberi cobaan seperti ini”.  Matanya seperti menerawang.  “Banyak teman sekerjaku yang shalatnya sering bolong, bahkan ada yang tidak pernah shalat seumur hidupnya walau dia mengaku islam, tapi hidupnya sampai saat ini masih enak.   Bahkan karirnya makin baik.  Sementara aku…?”  Tetesan air bening dari kelopak matanya mulai bergulir.

Wajahnya muram, dia merasa hidupnya tidak akan lama lagi.  Tidak lagi ada harapannya.  Kekesalan dan putus asa bercampur dalam perasaannya.  Hanya satu yang masih membuat dia coba untuk bertahan.  Anak-anaknya masih kecil dan masih butuh perlindungan dan pimpinan.

“Kadang aku sengaja tinggalkan shalat dok,  karena aku merasa tuhan tidak adil.  Aku yang berusaha untuk baik diberinya cobaan berat, sementara yang ingkar diberinya kesenangan”.  Keluhnya.

“Allah memberi cobaan pada hambaNya, tandanya Dia sayang pada hambaNya itu pak”.  Aku coba untuk mengeluarkan penilaianku padanya.  Aku harus hati-hati, agar apa yang ku sampaikan tidak membuat dia semakin terpukul.

“Kenapa dokter mengatakan Dia sayang?  Bukankah cobaan ini membuat aku menderita”  Suaranya sedikit meninggi.  “Sudah sekian lama aku tidur di bangsal ini dok.  Anak dan istriku tinggal di rumah, tanpa bisa aku mengayomi mereka”.  Matanya menatap tajam padaku.

Aku kaget mendengarnya.  Tapi aku mencoba untuk tenang dan tidak terpancing dengan ucapannya.  Sembari membereskan peralatanku yang ada disampingnya, aku coba untuk menyabarkan hatinya.

“Sabar pak.  Allah tidak sejahat yang bapak fikirkan.  Kasih sayang Allah sangat besar, mungkin kita yang belum bisa merasakan karena dibelenggu oleh perasaan sendiri” Aku berusaha untuk tersenyum.  Alhamdulillah dia mengangguk mendengar ucapanku.

“Sampai kapan aku harus begini dok?” tanyanya padku dilain waktu.

“Sabar pak”. Aku terseyum padanya.

Siang itu aku kembali terlibat percakapan dengan pasien ini.  Kebetulan semua pekerjaanku hari ini sudah kuselesaikan sehingga aku punya waktu yang banyak untuk berbicara dengannya.

“Kondisi bapak sekarang sudah lebih baik.  In sya Allah besok bapak sudah bisa mulai cuci darah”  ujarku.  Aku sengaja datang pada siang ini untuk menyampaikan rencana hemodialisa padanya, setelah semua persiapannya tuntas ku laksanakan.

“Berarti aku tidak akan lepas dari rumah sakit ini dok?” tanyanya

“Bapak harus bersyukur” Ucapku.

“Bersyukur?” Tiba-tiba suaranya meninggi.  “Sudah seperti ini kondisiku, dokter bilang aku harus bersyukur.  Banyak temanku yang tidak bersyukur, tapi dia bisa hidup senang di luar sana.  Sementara aku terbaring di sini, padahal dulunya aku orang yang selalu melaksanakan perintahNya”  Wajahnya tegang menaha emosi setelah mendengar ucapanku.

Aku tetap sabar dan tenang mengadapi situasi ini.  Bagaimanapun aku harus bisa meyakinkan dia bahwa semua ini adalh hal yang terbaik untuknya.

“Coba bapak perhatikan pasien di sebelah bapak”. Aku mulai mengajaknya untuk berfikir dengan memperhatikan pasien disebelahnya.  “Mereka masuk di rumah sakit ini harus menanggung biaya sendiri pak.  Sementara Bapak, ada Askes yang membiayai”.

Dia menatap wajahku tajam.  Namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.  Mungkin dia paham dengan apa yang aku sampaikan.   Dengan perlahan ku dekati dia.  Ak berdiri disisi ranjangnya.  Lalu perlahan aku berkata, “Setiap cobaan yang Allah berikan punya dua makna pak.  Itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.  Bisa menjadi nikmat, jika kita mensukurinya dan sebaliknya jadi laknat jika kita mengingkarinya”.

“Bagaimana aku bisa mensyukuri jika cobaannya berat seperti ini dok?”  Suaranya serak.  Air matanya terlihat mengalir.

“Bapak bersyukur kepada Allah, karena cobaan yang Dia berikan ini adalah jalan bagiNya untuk mengampuni dosa Bapak.  Dengan sabar dan bersyukur, maka dosa bapak yang lalu akan berguguran”.  Jelasku.

“Benar dok?” tanyanya ingin kepastian.

“Rasulullah bersabda bahwa ‘tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.  Itu hadis Rasulullah pak. Hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim”.  Jelasku menambahkan.

Mukanya mulai cerah setelah mendengarkan penjelasanku.  “Alhamdulillah.  Fikirannya mulai terbuka” Aku membathin.  “Mudah-mudahan bahan yang sudah kusiapkan dalam beberapa hari ini dapat ku sampaikan dengan baik, sehingga dia bisa mengerti dan paham”.

“Jika kita bersyukur pak. In sya Allah Allah akan menambah nikmatnya.  Hati bapak menjadi tenang sehingga bisa berfikir lebih baik dan bisa mencari solusi dari masalah yang bapak hadapi.  Nikmat Allah itu luas pak. Nikmat Allah tidak bertepi, tergantung bagaimana kita bisa mengambilnya”. Bicaraku lancar mengalir bagaikan air.

Dia masih tetap duduk dengan posisi yang tidak berobah.  Tatapannya padaku penuh harap.  Seakan dia menunggu apalagi kelanjutan tausiah yang akan aku berikan.

“Jika kita selalu berprasangka baik pada Allah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita pak.   Dalam sebuah hadits Qudsi Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah SWT berfirman: “Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku, Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku, jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam sendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku sendiri, dan jika dia mengingat-Ku di dalam sebuah kelompok/jama’ah, (maka) Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut,  jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta,  jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat. ” (Hadits Riwayat Bukhari, juga Muslim  Tirmidzi & Ibnu Majah)

“Lalu aku harus bagaimana dok?”  Tanyanya penuh harap.

“Jika Bapak tidak bisa mensyukurinya, hati bapak akan selalu gundah, umpat dan cela akan selalu keluar dari mulut bapak dan hati bapak semakin perih.  Azab Allah semakin besar bapak rasakan”. Aku berusaha mengajaknya berfikir.

“Terimakasih dok.  Aku akan mencoba untuk memperbaiki perasaanku.  Aku akan kembali shalat.  Sekali lagi terimakasih dok”.  Di ulurkannya tangannya.  Aku sambut uluran tangannya dan kami berslaman erat.  Aku tersenyum bahagia bisa berkonstribusi untuk memberikan tausiah padanya.  Diapun tersenyum karena mendapat solusi dari masalah perasaan yang yang selama ini menderitanya. ( Elfizon Amir)

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama