SERUJI.CO.ID – Suatu penilaian yang diukur dengan indeks, selalu menyimpan kontroversi. Sebut saja Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) bagi seorang mahasiswa. Nilai ini tidak mencerminkan “soft skill” sang mahasiswa, seperti kemampuan komunikasi, kepemimpinan, kerjasama, dan adaptasi terhadap lingkungan sekitar. IPK hanyalah mencerminkan kemampuan akademis mahasiswa dalam bidang studi tertentu sesuai bidang ilmu yang ditekuninya.
Demikian pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yang kebetulan memiliki singkatan yang sama dengan IPK di bangku kuliah, mencoba mengukur sejauh mana permasalahan korupsi di suatu negara. Perhitungan indeks ini pun tidak luput dari kontroversi. Tulisan ini bermaksud mengulas apa sebenarnya IPK dalam kerangka permasalahan korupsi dan beberapa hal penting lainnya yang patut dicermati oleh berbagai pihak yang akan menggunakan IPK.
Pekan lalu, harian Kompas merilis sebuah artikel dengan judul “Pemberantasan Korupsi di Trek Benar” (Kompas, 30 Januari 2019). Judul ini cukup menarik karena membahas seputar pencapaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di Tahun 2018, yang berada di peringkat 89 dari 180 negara di dunia. IPK tersebut baru saja diumumkan oleh Transparansi Internasional (TI), sebuah NGO yang memiliki legitimasi dan reputasi Internasional dalam kegiatan program anti-korupsi.
Setiap tahun, hampir menjadi “tradisi” di banyak negara termasuk Indonesia, dan sejumlah pihak yang berkepentingan dengan permasalahan korupsi, seperti media, lembaga anti-korupsi, serta badan internasional, yang seolah-olah menunggu “fatwa tahunan” TI melalui perhitungan IPKnya.
Bagi negara yang telah “dicap” sebagai negara dengan praktek korupsi yang tinggi, selalu penuh “harap dan cemas” agar setiap awal tahun, keadaan mereka lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut ditandai dengan perbaikan skor IPK dan kenaikan peringkat.
Tahun 2018, posisi Indonesia sedikit membaik satu peringkat dari tahun sebelumnya, yakni naik dari skor 37 menjadi 38. Fakta ini mendudukkan Indonesia berada di peringkat keempat di negara Asia Tenggara setelah Singapura (85), Brunei Dasrussalam (63), dan Malaysia (47). Sementara beberapa negara tetangga lainnya yang masih berada di bawah Indonesia, seperti Philipina (36), Thailand (36) dan Timor Leste (35).
Indeks Persepsi Korupsi si Angka Ajaib
IPK selalu membawa cerita tersendiri sekaligus berbagai dampak bagi suatu negara. Contohnya, bila IPK membaik (baca: naik), media akan memberikan cerita sukses berkaitan dengan program anti-korupsi tertentu yang disertai berbagai analisa para pakar untuk menjustifikasi cerita sukses tersebut. Namun sebaliknya bila IPK menurun, maka cerita pun akan menjadi berbeda.
Hal senada juga ditegaskan oleh Gilman (2018), senior partner Global Integrity Group, sebuah lembaga internasional yang membantu kliennya dalam memecahkan permasalahan kompleks mengenai korupsi. Menurut pengamatannya, IPK dapat berdampak beberapa hal bagi suatu negara, seperti: ada pejabat yang mendapatkan promosi, sebaliknya bisa saja ada pejabat yang akan kehilangan jabatannya bila IPK memburuk.
Investor asing pun dapat meningkatkan nilai investasinya atau bahkan menarik investasi mereka di suatu negara yang nilai IPK nya “mengkhawatirkan”. Contoh lebih ekstrim lagi, IPK dapat juga menjadi penyebab tumbangnya suatu rezim.
Sehingga agaknya tidaklah berlebihan apabila TI, selaku pihak yang menciptakan IPK setiap tahunnya, menyatakan di laman website mereka, “Corruption Perception Index (CPI) is the leading global indicator a public sector corruption. Through the CPI, a powerful message has been sent and governments have been forced to consider and act” (Transparency International, 2016)
Gilman menambahkan, dunia akademis pun tidak ketinggalan dalam memberi perhatian khusus terhadap IPK. Tidak dapat dipungkiri, betapa masifnya IPK menjadi bahan studi yang dimuat dalam berbagai paper dan jurnal ilmiah, maupun yang dibahas diberbagai seminar.
IPK sangat lazim digunakan sebagai baseline, dasar argumen, atau pun variabel, dalam mengeksplorasi permasalahan korupsi. Sehingga IPK berubah menjadi suatu angka ajaib yang memukau bagi semua pihak untuk dapat melihat fenomena korupsi menjadi seolah “barang nyata dan terukur”. Meskipun secara prinsip, basis pengukuran IPK adalah persepsi yang tentu mengandung unsur subjektivitas.
Beberapa Permasalahan Indeks Persepsi Korupsi
Meskipun TI telah berhasil membangun image dan popularitas dengan produk IPK nya selama beberapa dekade. Pada kenyataannya, tidak menjadikan perhitungan IPK mereka bebas dari masalah serius yang harus disikapi dengan bijak dalam penggunaanya.
Sejumlah kritik pun pernah disampaikan oleh berbagai pakar. Tidak kurang para akademisi ternama yang mengkaji permasalahan korupsi seperti: Gilman (2018), Michener (2015), Broome & Quirk (2015), Heywood & Rose (2014), Johnston (2005), dan Chadda (2004), telah menyoroti permasalah IPK dalam beberapa aspek, seperti: metodologi, validitas, dan konteks. Akan tetapi sayangnya, kritik tersebut belum sepenuhnya menjadi perhatian.
Persoalan pertama adalah metodologi. TI merumuskan IPK berdasarkan 13 sub-indikator yang berbeda dan memformulasikannya dengan perhitungan matematika tertentu. Keseluruhan sub-indikator ini merupakan survei suatu persepsi yang diolah secara statistik. Kemudian TI merumuskan perhitungan tersebut menjadi indeks, dalam bentuk IPK yang dianggap mewakili setiap unsur sub-indikator tadi. Skor IPK kemudian dikonversi menjadi peringkat antar negara. Dengan demikian jelaslah bahwa TI tidak melakukan survei sendiri atas responden tersebut, melainkan menggunakan data pihak lain.
Selanjutnya, ada suatu risiko mengenai persepsi. Gilman beargumen bahwa persepsi yang dihasilkan sub-indikator tadi dapat saja tidak mencakup keseluruhan informasi. Pihak-pihak yang menjadi responden bisa jadi tidak memberikan informasi yang akurat. Informasi seperti: berapa jumlah jaksa yang korupsi, berapa jumlah anggota parlemen yang korupsi, dan berapa jumlah pengusaha yang memberi “sogokan” dalam berbisnis. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bisa saja bukan fakta sebenarnya. Akibatnya, informasi yang diperoleh dapat mengandung kesalahan. Terlebih lagi secara pendekatan statistik pun, TI belum pernah menginformasikan secara pasti berapa margin error untuk perhitungan IPKnya.
Berikutnya mengenai validitas hasil pengukuran. Secara prinsip, karena metode pengukuran IPK yang masih lemah dalam hal metode dan keakuratannya. Hal ini akan berdampak pada valid dan tidaknya hasil pengukuran itu sendiri. Kritik berhubungan dengan validitas tersebut pernah disampaikan oleh Michael Johnston (2005), “the CPI was reliable but its statistical validity was questionable”.
Selain itu, Gilman menegaskan bahwa IPK dihitung untuk keseluruhan negara dan diurutkan berdasarkan peringkat. Akan tetapi, peringkat yang terlihat di website TI tidak sama dengan skor di tiap-tiap negara. Akibatnya, skor bisa saja sama dengan tahun sebelumnya, namun peringkatnya bisa berubah. Hal ini terjadi pada Indonesia, dimana pada tahun 2012 dan 2013, skor untuk Indonesia adalah sama, yaitu 32. Akan tetapi, Tahun 2012, Indonesia berada diperingkat 118 dari 174 negara, sementara Tahun 2013, peringkatnya berubah menjadi 114 dari 175 negara. Sehingga, perhitungan skor versi IPK ini dapat menimbulkan suatu kebingungan.
Permasalah ketiga adalah mengenai konteks korupsi itu sendiri. Sebagian besar sub-indikator yang dijadikan rujukan oleh TI tidak menitikberatkan pada pengukuran korupsi secara langsung. Melainkan menekankan pada keadaan lingkungan bisnis disuatu negara, perkembangan ekonomi, atau risiko melakukan usaha.
Pada dasarnya indikator ini bertujuan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan dunia bisnis, untuk para bankir atau analis pasar yang menerima pembayaran fee bagi sesiapa yang menggunakan hasil analisa mereka. Akibatnya, pengukuran IPK mengenai korupsi bisa jadi berbeda artinya dengan konsep korupsi itu sendiri.
Sebagaimana dipahami bersama, pengertian korupsi sangatlah luas lingkupnya. Secara praktik, korupsi dapat bersifat sistemik, pervasif, dan berulang atau bahkan kecil, sporadis, sangat jarang dan sebagainya. Berdasarkan karakteristik tersebut, akademisi seperti Heidenheimer membagi korupsi menjadi tiga kategori, yakni korupsi “hitam, abu-abu, dan putih”. Hal ini menandakan betapa luasnya lingkup pembahasan korupsi. Sehingga, konteks pengukuran IPK boleh jadi menjadi pertanyaan kita semua, dalam lingkup dan objek korupsi seperti apa yang dijadikan dasar dalam suatu penghitungan IPK?
Pelajaran yang diambil dari Indeks Persepsi Korupsi
IPK merupakan pengukuran yang telah dikenal secara luas oleh berbagai khalayak sebagai bahan justifikasi untuk memberikan penilaian kepada suatu negara. Khususnya, sejauh mana negara tersebut bebas dari permasalahan korupsi. Akan tetapi, berdasarkan metodologi, proses, dan konteks pembahasannya, ternayata IPK tidak luput dari beberapa kontroversi yang mesti disikapi secara hati-hati, apabila ingin menggunakannya sebagai suatu acuan untuk menilai keberhasilan suatu program anti-korupsi.
Terlepas dari kelemahan yang terdapat dalam IPK, hal yang paling penting adalah menjaga semangat untuk terus melawan korupsi. Komitmen para pihak yang mengawal program anti-korupsi itu sendiri, dan pimpinan yang berani berjuang dengan segala risiko yang akan dihadapi.
Perjuangan anti-korupsi bukanlah pekerjaan instan. Pekerjaan ini membutuhkan waktu, kerja keras, pengorbanan, dan keseriusan. Hal ini bukanlah pekerjaan mudah, namun bukan pula perkara mustahil.
Dengan demikian hanya mengandalkan pencapaian perolehan nilai IPK setiap tahunnya, kiranya bukan merupakan suatu tujuan akhir. Melainkan hanya sebuah tujuan antara untuk melihat masalah korupsi secara lebih utuh dan menanggulanginya secara efektif dan tepat sasaran. (Hrn)